Rabu, 14 Januari 2015

Papah, Kembali


-- Semangkuk Ice Cream Untuk Mamah --


Tuhan, kembalikan lah papahku.
Agar kami bisa menikmati semangkuk ice cream bersama lagi.


Malam ini semilir dingin, karena memang rumah nenekku ada didekat pantai. Angin kencang menjadi pemandangan setiap hari dikala musim penghujan tiba. Deburan ombak berteriak lirih menghatam bebatuan tepi pantai. Sayup-sayup terdengar mamah didapur sedang menyiapkan makan malam untuk kami. Sedangkan aku, belajar dikamar untuk persiapan ujian semester satu minggu lagi. Kuraih jaket coklatku kemudian mendekati nenek yang sedang duduk di kursi sembari menonton sinetron kesayangannya. Hampir tiap hari nenek tidak pernah melewatkan acara televisi itu. Terkadang nenek terkekeh-kekeh sendiri tatkala melihat adegan-adegan lucu para pemainnya, tak jarang juga nenek tiba-tiba menangis terisak-isak ketika melihat adegan drama menangis. Ah....nenek memang mudah terbawa suasana, pikirku sambil tersenyum geli.
“Sudahkah mengerjakan PR mu, jel?” ucap nenek memulai percakapan. “Sudah nek”. Jawabku singkat sembari duduk mendekati nenek. Jel, begitulah nenek biasa memanggilku. Sepertinya nenek memang kesulitan memanggil namaku yang sebenarnya. Mamah memberi nama “Angela” Untukku. Angle adalah bahasa inggris yang artinya malaikat, mungkin Mamah berharap anaknya bisa mempunyai hati seperti malaikat. Di sekolah biasanya aku dipanggil Angle oleh teman dan guruku. Tapi berbeda dengan nenekku yang terbiasa tinggal didesa, lidahnya sudah kaku untuk mengucapkan istilah yang asing dan jarang didengar. Pernah suatu hari aku protes ke nenek, kenapa memanggilku seperti itu dan berusaha mengajari nenek untuk menyebut namaku dengan benar. Tapi, gagal. Kulihat bibir nenek yang blepotan menyebut namaku, sampai membuat aku dan mamah tertawa terpingkal-pingkal. Apapun itu, panggilan “jel” adalah panggilan kesayangan dari nenekku.
Aku sekarang sudah duduk dibangku SMA kelas XI di salah satu SMA favorit di kotaku. Semenjak kejadian kelam 3 tahun silam, aku dan mamah tinggal dirumah nenek. Rumah nenek sangat sederhana. Rumah yang berdinding kayu, berubin keramik dengan halaman yang cukup luas ini dikelilingi pohon kelapa. Sayup-sayup gemerisik khas dedaunan kelapa membuat suasana menjadi semakin syahdu. Sering juga terdengar suara jeritan jangkrik dan serangga lainnya dimalam hari. Gaduh memang, tapi itulah yang membuat kami nyaman tinggal dirumah ini.
Nenek dan mamah bekerja sebagai penjual ikan di pasar tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka mulai bekerja di pagi buta untuk membeli ikan segar dari nelayan yang baru mendarat ditempat pengepul ikan, kemudian dijual kembali ke pedagang ecer dipasar. Nenek akan mengomel seharian, kalau terlambat datang ke pengepul ikan. Sudah menjadi rutinitas nenek untuk berangkat sepagi mungkin agar tidak ketinggalan dengan pembeli ikan lainnya. Bangunlah sebelum fajar, agar rezeki tidak dipatok ayam. Itulah nasehat nenek yang terus-terusan diucapkan setiap fajar menyingsing. Terus, apa kabar Papah?
Aku masih ingat kejadian di suatu malam tiga tahun yang lalu. Pintu rumah nenek digedor-gedor dengan sangat kencang. “Dina....dina... buka pintunya.” Teriak papah ke mamahku. Aku, mamah dan nenek takut sejadi-jadinya didalam kamar. “Ayo, cepat buka pintunya, aku tahu kamu sekarang ada didalam rumah,” imbuh papah dengan suara yang menggelegar. “gimana ini bu? Dina harus bagaimana? Mas irfan sepertinya sedang marah besar,” rintih mamah ke nenek dengan nada berbisik. “Temui saja, tidak baik membiarkan orang teriak-teriak dimalam hari,” jawab nenek dengan bijaksana. “Jangan kuatir, akan saya temani.” Imbuhnya.
“Malam-malam teriak-teriak, kamu pengen semua orang sekampung bangun gara-gara dengar suaramu, ha?” gertak nenek sembari membuka pintu. “Eh, bu..mana dina!.” Jawab papah dengan nada sedikit pelan. “Ada apa kamu cari dina?, mau kamu siksa lagi? Irfan...irfan...dari dulu kamu tidak pernah berubah.”tukas nenek. “Aku mau bawa pulang dina, tidak seharusnya dia disini. Seharusnya dia tinggal bersama suaminya, tidak keluar rumah tanpa ijin seperti ini” Ucap papah dengan marah. “Saya nggak mau mas, aku disini saja tinggal sama ibuk, ma’af mas.” Kata mamah keluar dari balik pintu. “kamu dengar irfan? biarkan dina disini saja tinggal dengan saya, jangan paksa dina dan angle, atau kamu mau saya laporkan ke polisi?” bela nenek dengan tegas. “Hah..awas ya kalian.” Ancam papah sambil melangkah keluar rumah dengan nada yang mengerikan.
Aku melihat pancaran marah dari sorot mata papahku. Marah yang sama seperti ketika papah menyiksa mamahku waktu itu. Pedih rasanya ketika ingat mamah dipukuli. Luka lebam sekujur tubuh menjadi topik sehari-hari. Terlebih lagi ketika mamah  dipaksa untuk melacur karena kegilaan papahku. Penyiksaan batin juga dilakukannya, dengan selalu membawa perempuan yang tidak pernah aku kenal ke kamar mamahku. Memang dulu aku belum begitu paham untuk mencerna kejadian demi kejadian dalam keluargaku. Namun sekarang saya sudah berkembang menjadi gadis yang lebih dewasa. Kisah tiga tahun lalu, selalu berusaha dikubur dalam-dalam oleh mamahku semenjak kami melarikan diri dari tempat prostitusi itu. Dan kini, drama itu terbuka lagi.
Aku yakin, papah pasti memarahi siapapun yang didekatnya, karena tidak menemukan kami dikamar keesokan harinya. Membanting benda apapun disampingnya dan berteriak keras seperti orang kesurupan seperti biasanya. Belum lagi kalau dipengaruhi minuman keras yang menghilangkan kesadarannya. Aku juga mendengar dari tetangga, kalau papah mencari aku dan mamah sampai kemana-mana setelah kami kabur dari lorok permai malam lalu. Dengan muka ketakutan, nenek menutup pintu dan menenangkan mamah yang sudah melelehkan air mata. “Sudahlah dina, apa yang kamu tangisi?” hibur nenek. “Aku takut buk, aku khawatir mas irfan akan berbuat yang tidak-tidak.” Jawab mamah. “Berserahlah sama Tuhan, semoga kita mendapatkan perlindungan.” Jawab nenek menenangkan. Tangis mamah pecah malam itu. Dan apakah kalian tahu bagaimana perasaanku malam itu? Iya, hancur lebur bersatu dengan rasa takut yang menggelayutiku semalaman.
“Angle, sini makan malam sayang, kamu pasti sangat lapar,” sambut mamah sambil senyum. “Siapkan piring juga untuk nenek ya.” Imbuh mamah. Aku pun mengangguk tanpa membantah sedikitpun. Begitulah keluarga sederhana kami. Membiasakan diri makan malam bersama. Dengan makan bersama, kami biasa saling bercerita tentang apapun yang terjadi seharian. Apalagi dulu ketika kakek masih hidup, beliau sering sekali memberikan nasehat tentang kehidupan ke kami di akhir makan malam. Sering kami menangis bersama ketika mendengar cerita sedih, namun juga tidak jarang kami tertawa terbahak-bahak ketika mendengarkan cerita lucu dan bahagia. Jadi hampir dikatakan tidak ada rahasia  antara kami. Kami bercerita tentang hal apapun baik kabar bahagia, sedih, mengerikan bahkan juga tentang ceritaku di sekolah.
Pernah suatu malam ketika makan malam bersama, nenek menanyaiku “Siapa itu irul? Kenapa tidak pernah diajak mampir ke rumah? Kenalkan dong ke nenek, nenek kan juga pengen kenal” tanya nenek dengan menyelidik. “Uhuk..uhuk.” Aku tersedak dan meraih gelas untuk minum. “Nenekk... darimana nenek tahu? Ah nenek..” jawabku malu. “Ya iyalah nenek tahu, nenek kan baca sepucuk surat malang yang dibuang pemiliknya ke tempat sampah, hehe.  Kasian kan, sudah dibuat bagus-bagus, tapi dibuang, hampir saja nenek bakar, untungnya nenek baca dulu. Jadi ya saya simpan, siapa tahu sewaktu-waktu dicari sama pemiliknya” Goda nenek sambil mengerlingkan mata. “Siapa Angle? Kok mamah juga tidak diceritain?” potong mamah. “Ah nenek, harusnya nenek nggak usah baca dulu suratnya, itu lho mah irul kakak kelasku. Dia suka sama aku mah.” Jawabku malu. “Oh...gitu..terus?” jawab mamah dan nenek dengan kompak. Malam itu mendadak mamah dan nenekku kompak sekali. Mereka menanyaiku seperti sedang mewawancarai pegawai baru. Aku pun tidak bisa berkutik, harus menjawab pertanyaan  demi pertanyaan yang mereka ajukan. Gelak tawa tidak bisa kami elakkan, terlebih lagi nenek menggodaku ketika ketahuan mukaku memerah. “Lihat itu pipi anakmu din, persis seperti kamu waktu masih muda dulu.” goda nenek semakin menjadi-jadi sambil tertawa terkekeh-kekeh tidak tertahan.
Malam ini, kami makan melingkar dimeja bundar seperti malam-malam biasanya. Kali ini mamah masak sayur kangkung dengan lauk ikan bawal goreng ditambah sambal trasi pedas kesukaanku. Aroma masakan membuat perutku keroncogan tidak sabar untuk segera diisi. Nasi putih mengepul dahsyat dipiringku, membuatku semakin tidak tahan untuk segera makan. Ku sisingkan lengan bajuku,  dan mulai kubasuh jari-jariku dengan air dalam baskom, dan nasi hampir siap mendarat dibibirku dengan tangan tanpa sendok. “Angle, berdo’a dulu.” Gerutu nenek. “eh, iya nek.” Jawabku kaget dan langsung berdo’a. Keluargaku memang bukan keluarga relijius. Tapi kami terbiasa melakukan segala sesuatu yang diawali dan diakhiri dengan berdo’a. Kakekku dulu bilang “ Setiap hal harus diawali dan diakhiri dengan do’a, biar tidak diikuti roh atau syetan jahat, dengan do’a maka kita akan diiringi oleh hati malaikat.” Ujar kakek dengan bijaksana. Setelah berdo’a bersama, kami pun mulai makan.
“Din, bagaimana besok? Jadi kamu menjemput suamimu irfan itu?.” Tukas nenek memecah hening. “Iya buk, besok jam pagi dina akan ke penjara, Angle mau ikut? Sahut mamah. “Iya mah, pasti! Besok kan Angle libur sekolah.” Jawabku lugas penuh semangat. Papahku akan keluar penjara besok pagi setelah dikurung selama 3 tahun. Setelah malam lalu ketika papah berusaha menjemput mamah  dirumah nenek, hidup papah semakin tidak teratur. Benar kata nenek, papah tidak berubah sama sekali. Sampai suatu hari, papah berurusan dengan kepolisian.
“Dina..din..dina.. suamimu din, suamimu..” teriak Bulek Jatmi ke mamah waktu itu di pasar ikan. “Ada apa bulek? ada apa dengan mas irfan?” jawab mamah kaget.  “Itu din, suamimu, anu, anu.” Jawab bulek dengan gugup. “suamimu ditangkap polisi.” Imbuhnya. “Apa? Darimana bulek tahu.” Jawab mamah gemetar bukan kepalang.  Bulek Jatmi, adalah adik kandung nenekku. Beliau bersahabat akrab dengan mamahku. Jadi dipastikan segala informasi dari beliau terjamin keakuratannya, bukan gosip simpang siur belaka. Mamah memang sengaja menutup komunikasi dengan papah. Akan tetapi informasi penting sering datang sendiri dari orang-orang terdekat. Bulek bercerita kalau papah ditangkap polisi dan dijebloskan ke penjara sebagai tersangka. Sontak berita ini membuat mamah kalut dan gelisah luar biasa. “Tenangkan pikiranmu din, kamu langsung ke kantor polisi saja, biar ibuk yang memberesi dagangan, nanti saya nyusul.”ucap nenek.
Tak lama kemudian, sampailah mamah di kantor polisi. Ditemuinya papah didalam jeruji besi dengan kondisi yang mengenaskan. Papah tampak lebih kurus, pucat dengan kantung mata yang semakin melebar. Seperti ada masalah besar sedang menimpa papah yang membuatnya depresi. Benar kata bulek Jatmi bahwa papah dimasukkan penjara sebagai tersangka. Waktu itu, papah tertangkap basah sedang pesta narkoba dengan teman-temannya dirumahnya. Dalam kondisi tidak sadar papah dan teman-temannya diseret di kantor polisi untuk dimintai keterangan. Dalam persidangan tidak ada yang bisa membela papah, karena memang sudah terbukti ditemukan 1 kg ganja dirumahnya. Tiga tahun, papah akan merasakan dinginnya penjara.
Semenjak itu, mamah rutin menjenguk papah. Dikirimkannya buah-buah segar dan makanan hasil masakannya sendiri. Setidaknya seminggu sekali mamah benar-benar meluangkan waktu untuk melihat kondisi papah. Terkadang aku juga ikut, ketika tidak ada jadwal les tambahan atau program ekstrakurikuler di sekolah. Nenek jarang menjenguk,  karena memang beliau sudah tidak muda lagi, merasa kecapekan jika harus berpegian jauh. Dirawatnya papah dengan sangat lembut. Seolah mamah lupa dengan semua luka yang digoreskan papah di waktu yang lalu. Awalnya dulu papah selalu menolak untuk dijenguk mamah, karena merasa malu atas sikapnya selama ini. Namun mamah tetap kukuh berjuang untuk bertemu suaminya. Papah sudah banyak berubah dan cenderung diam. Mungkin beliau sadar, hanya mamah lah yang setia menjamunya sampai saat ini. Proses penyembuhan dan rehabilitasi sepertinya bekerja dengan baik. Terkadang mereka bersendau gurau dan saling menggoda satu sama lain. Kulihat muka mamah dengan pekat, iya..mamah masih sangat mencintai papah. Lagi-lagi aku kagum dengan kesabaran mamah.
Fajar menyingsing, aku dan mamah segera bersiap-siap untuk menjemput papah. Mamah berdandan tipis namun tampak cantik dan segar rona mukanya. Segera aku siapkan apa saja yang perlu kami bawa. Dengan menggunakan baju terbaik, kami segera berpamitan dengan nenek dan segera berangkat. “Do’akan kami ya buk.” Ucap mamah sembari berpamitan ke nenek.  Butuh waktu dua jam untuk sampai ke lokasi dengan tiga kali naik angkutan dan satu kali naik bis umum.
Di kantor polisi tepat jam 09.00 pagi, papah akan dikeluarkan dari penjara. Kulihat dalam-dalam muka mamah yang harap-harap cemas tidak sabar menyambut suaminya. “Dina..dina..Terima kasih dina sudah mau merawatku selama ini. Mohon ma’afkan aku yang sudah khilaf menyakitimu selama ini.” Ujar papah pertama kali. Kami berpelukan seolah sepasang kekasih yang tidak pernah bertemu. Isak haru mengiringi perjalanan kami. Kami pulang ke rumah nenek dengan rasa yang berkecamuk tapi sedikit lega. Bagaimana dengan kehidupan keluarga kami setelah ini?
Sesampai dirumah, nenek dan beberapa tetangga sudah menunggui kami diruang tamu. Sepertinya kabar papah sudah bebas dari penjara hari ini sudah tersebar luas di penjuru kampung. Sehingga tanpa kode apapun, para tetangga juga ikut menyamput papah pulang. Entah karena benar-benar ingin ikut menyambut atau hanya karena ingin melihat kondisi papah yang sekarang. “Syukurlah irfan, akhirnya kamu pulang.” Tutur nenek dengan nada ikhlas dan sedikit gemetar. Sepertinya itu adalah rasa haru  dan lega yang tidak mampu disembunyikan.
Setelah itu papah meminta ijin ke nenek untuk membawa kami pulang kerumahnya. Sebenarya aku kaget mendengarnya. Mungkin karena ada kekhawatiran dalam diriku kalau kisah lama terulang kembali. Walaupun papah tampak baik, tapi sifat kejamnya bisa muncul kapanpun juga. Aku tidak mau melihat mamah mengalami penyiksaan yang bertubi. Namun kali ini papah mampu meyakinkan kami dan tampak sungguh-sungguh akan berubah.
Akhirnya kami memutuskan tinggal bersama di juana, salah satu daerah dikotaku dimana tempat aku dilahirkan dulu. Papah kemudian bekerja sebagai nelayan disana dan mamah tetap bekerja sebagai penjual ikan segar di pasar. Kami hidup bahagia, itulah harapanku.

Tuhan, terima kasih sudah mengirimkan kembali papahku
Semangkuk ice cream coklat ini tidak hanya untuk mamahku, tapi juga papahku

0 komentar:

Posting Komentar