-- Semangkuk
Ice Cream Untuk Mamah --
Tuhan, kembalikan lah papahku.
Agar kami bisa menikmati semangkuk ice cream
bersama lagi.
Malam ini semilir dingin, karena memang rumah
nenekku ada didekat pantai. Angin kencang menjadi pemandangan setiap hari
dikala musim penghujan tiba. Deburan ombak berteriak lirih menghatam bebatuan
tepi pantai. Sayup-sayup terdengar mamah didapur sedang menyiapkan makan malam
untuk kami. Sedangkan aku, belajar dikamar untuk persiapan ujian semester satu
minggu lagi. Kuraih jaket coklatku kemudian mendekati nenek yang sedang duduk
di kursi sembari menonton sinetron kesayangannya. Hampir tiap hari nenek tidak
pernah melewatkan acara televisi itu. Terkadang nenek terkekeh-kekeh sendiri
tatkala melihat adegan-adegan lucu para pemainnya, tak jarang juga nenek tiba-tiba
menangis terisak-isak ketika melihat adegan drama menangis. Ah....nenek memang mudah
terbawa suasana, pikirku sambil tersenyum geli.
“Sudahkah mengerjakan PR mu, jel?” ucap nenek
memulai percakapan. “Sudah nek”. Jawabku singkat sembari duduk mendekati nenek.
Jel, begitulah nenek biasa memanggilku. Sepertinya nenek memang kesulitan
memanggil namaku yang sebenarnya. Mamah memberi nama “Angela” Untukku. Angle
adalah bahasa inggris yang artinya malaikat, mungkin Mamah berharap anaknya
bisa mempunyai hati seperti malaikat. Di sekolah biasanya aku dipanggil Angle
oleh teman dan guruku. Tapi berbeda dengan nenekku yang terbiasa tinggal
didesa, lidahnya sudah kaku untuk mengucapkan istilah yang asing dan jarang
didengar. Pernah suatu hari aku protes ke nenek, kenapa memanggilku seperti itu
dan berusaha mengajari nenek untuk menyebut namaku dengan benar. Tapi, gagal.
Kulihat bibir nenek yang blepotan menyebut namaku, sampai membuat aku dan mamah
tertawa terpingkal-pingkal. Apapun itu, panggilan “jel” adalah panggilan
kesayangan dari nenekku.
Aku sekarang sudah duduk dibangku SMA kelas XI di
salah satu SMA favorit di kotaku. Semenjak kejadian kelam 3 tahun silam, aku
dan mamah tinggal dirumah nenek. Rumah nenek sangat sederhana. Rumah yang
berdinding kayu, berubin keramik dengan halaman yang cukup luas ini dikelilingi
pohon kelapa. Sayup-sayup gemerisik khas dedaunan kelapa membuat suasana menjadi
semakin syahdu. Sering juga terdengar suara jeritan jangkrik dan serangga
lainnya dimalam hari. Gaduh memang, tapi itulah yang membuat kami nyaman
tinggal dirumah ini.
Nenek dan mamah bekerja sebagai penjual ikan di
pasar tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka mulai bekerja di
pagi buta untuk membeli ikan segar dari nelayan yang baru mendarat ditempat
pengepul ikan, kemudian dijual kembali ke pedagang ecer dipasar. Nenek akan
mengomel seharian, kalau terlambat datang ke pengepul ikan. Sudah menjadi
rutinitas nenek untuk berangkat sepagi mungkin agar tidak ketinggalan dengan
pembeli ikan lainnya. Bangunlah sebelum fajar, agar rezeki tidak dipatok ayam. Itulah
nasehat nenek yang terus-terusan diucapkan setiap fajar menyingsing. Terus, apa
kabar Papah?
Aku masih ingat kejadian di suatu malam tiga tahun
yang lalu. Pintu rumah nenek digedor-gedor dengan sangat kencang. “Dina....dina...
buka pintunya.” Teriak papah ke mamahku. Aku, mamah dan nenek takut
sejadi-jadinya didalam kamar. “Ayo, cepat buka pintunya, aku tahu kamu sekarang
ada didalam rumah,” imbuh papah dengan suara yang menggelegar. “gimana ini bu?
Dina harus bagaimana? Mas irfan sepertinya sedang marah besar,” rintih mamah ke
nenek dengan nada berbisik. “Temui saja, tidak baik membiarkan orang
teriak-teriak dimalam hari,” jawab nenek dengan bijaksana. “Jangan kuatir, akan
saya temani.” Imbuhnya.
“Malam-malam teriak-teriak, kamu pengen semua orang
sekampung bangun gara-gara dengar suaramu, ha?” gertak nenek sembari membuka
pintu. “Eh, bu..mana dina!.” Jawab papah dengan nada sedikit pelan. “Ada apa
kamu cari dina?, mau kamu siksa lagi? Irfan...irfan...dari dulu kamu tidak
pernah berubah.”tukas nenek. “Aku mau bawa pulang dina, tidak seharusnya dia
disini. Seharusnya dia tinggal bersama suaminya, tidak keluar rumah tanpa ijin
seperti ini” Ucap papah dengan marah. “Saya nggak mau mas, aku disini saja
tinggal sama ibuk, ma’af mas.” Kata mamah keluar dari balik pintu. “kamu dengar
irfan? biarkan dina disini saja tinggal dengan saya, jangan paksa dina dan
angle, atau kamu mau saya laporkan ke polisi?” bela nenek dengan tegas.
“Hah..awas ya kalian.” Ancam papah sambil melangkah keluar rumah dengan nada
yang mengerikan.
Aku melihat pancaran marah dari sorot mata papahku.
Marah yang sama seperti ketika papah menyiksa mamahku waktu itu. Pedih rasanya
ketika ingat mamah dipukuli. Luka lebam sekujur tubuh menjadi topik
sehari-hari. Terlebih lagi ketika mamah
dipaksa untuk melacur karena kegilaan papahku. Penyiksaan batin juga
dilakukannya, dengan selalu membawa perempuan yang tidak pernah aku kenal ke
kamar mamahku. Memang dulu aku belum begitu paham untuk mencerna kejadian demi
kejadian dalam keluargaku. Namun sekarang saya sudah berkembang menjadi gadis
yang lebih dewasa. Kisah tiga tahun lalu, selalu berusaha dikubur dalam-dalam
oleh mamahku semenjak kami melarikan diri dari tempat prostitusi itu. Dan kini,
drama itu terbuka lagi.
Aku yakin, papah pasti memarahi siapapun yang
didekatnya, karena tidak menemukan kami dikamar keesokan harinya. Membanting
benda apapun disampingnya dan berteriak keras seperti orang kesurupan seperti
biasanya. Belum lagi kalau dipengaruhi minuman keras yang menghilangkan kesadarannya.
Aku juga mendengar dari tetangga, kalau papah mencari aku dan mamah sampai
kemana-mana setelah kami kabur dari lorok permai malam lalu. Dengan muka
ketakutan, nenek menutup pintu dan menenangkan mamah yang sudah melelehkan air
mata. “Sudahlah dina, apa yang kamu tangisi?” hibur nenek. “Aku takut buk, aku
khawatir mas irfan akan berbuat yang tidak-tidak.” Jawab mamah. “Berserahlah
sama Tuhan, semoga kita mendapatkan perlindungan.” Jawab nenek menenangkan.
Tangis mamah pecah malam itu. Dan apakah kalian tahu bagaimana perasaanku malam
itu? Iya, hancur lebur bersatu dengan rasa takut yang menggelayutiku semalaman.
“Angle, sini makan malam sayang, kamu pasti sangat
lapar,” sambut mamah sambil senyum. “Siapkan piring juga untuk nenek ya.” Imbuh
mamah. Aku pun mengangguk tanpa membantah sedikitpun. Begitulah keluarga
sederhana kami. Membiasakan diri makan malam bersama. Dengan makan bersama,
kami biasa saling bercerita tentang apapun yang terjadi seharian. Apalagi dulu
ketika kakek masih hidup, beliau sering sekali memberikan nasehat tentang
kehidupan ke kami di akhir makan malam. Sering kami menangis bersama ketika
mendengar cerita sedih, namun juga tidak jarang kami tertawa terbahak-bahak
ketika mendengarkan cerita lucu dan bahagia. Jadi hampir dikatakan tidak ada
rahasia antara kami. Kami bercerita
tentang hal apapun baik kabar bahagia, sedih, mengerikan bahkan juga tentang
ceritaku di sekolah.
Pernah suatu malam ketika makan malam bersama,
nenek menanyaiku “Siapa itu irul? Kenapa tidak pernah diajak mampir ke rumah?
Kenalkan dong ke nenek, nenek kan juga pengen kenal” tanya nenek dengan
menyelidik. “Uhuk..uhuk.” Aku tersedak dan meraih gelas untuk minum. “Nenekk...
darimana nenek tahu? Ah nenek..” jawabku malu. “Ya iyalah nenek tahu, nenek kan
baca sepucuk surat malang yang dibuang pemiliknya ke tempat sampah, hehe. Kasian kan, sudah dibuat bagus-bagus, tapi
dibuang, hampir saja nenek bakar, untungnya nenek baca dulu. Jadi ya saya
simpan, siapa tahu sewaktu-waktu dicari sama pemiliknya” Goda nenek sambil
mengerlingkan mata. “Siapa Angle? Kok mamah juga tidak diceritain?” potong
mamah. “Ah nenek, harusnya nenek nggak usah baca dulu suratnya, itu lho mah
irul kakak kelasku. Dia suka sama aku mah.” Jawabku malu. “Oh...gitu..terus?”
jawab mamah dan nenek dengan kompak. Malam itu mendadak mamah dan nenekku
kompak sekali. Mereka menanyaiku seperti sedang mewawancarai pegawai baru. Aku
pun tidak bisa berkutik, harus menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang mereka ajukan. Gelak
tawa tidak bisa kami elakkan, terlebih lagi nenek menggodaku ketika ketahuan
mukaku memerah. “Lihat itu pipi anakmu din, persis seperti kamu waktu masih
muda dulu.” goda nenek semakin menjadi-jadi sambil tertawa terkekeh-kekeh tidak
tertahan.
Malam ini, kami makan melingkar dimeja bundar
seperti malam-malam biasanya. Kali ini mamah masak sayur kangkung dengan lauk
ikan bawal goreng ditambah sambal trasi pedas kesukaanku. Aroma masakan membuat
perutku keroncogan tidak sabar untuk segera diisi. Nasi putih mengepul dahsyat
dipiringku, membuatku semakin tidak tahan untuk segera makan. Ku sisingkan
lengan bajuku, dan mulai kubasuh
jari-jariku dengan air dalam baskom, dan nasi hampir siap mendarat dibibirku
dengan tangan tanpa sendok. “Angle, berdo’a dulu.” Gerutu nenek. “eh, iya nek.”
Jawabku kaget dan langsung berdo’a. Keluargaku memang bukan keluarga relijius.
Tapi kami terbiasa melakukan segala sesuatu yang diawali dan diakhiri dengan
berdo’a. Kakekku dulu bilang “ Setiap hal harus diawali dan diakhiri dengan do’a,
biar tidak diikuti roh atau syetan jahat, dengan do’a maka kita akan diiringi
oleh hati malaikat.” Ujar kakek dengan bijaksana. Setelah berdo’a bersama, kami
pun mulai makan.
“Din, bagaimana besok? Jadi kamu menjemput suamimu
irfan itu?.” Tukas nenek memecah hening. “Iya buk, besok jam pagi dina akan ke
penjara, Angle mau ikut? Sahut mamah. “Iya mah, pasti! Besok kan Angle libur
sekolah.” Jawabku lugas penuh semangat. Papahku akan keluar penjara besok pagi
setelah dikurung selama 3 tahun. Setelah malam lalu ketika papah berusaha
menjemput mamah dirumah nenek, hidup
papah semakin tidak teratur. Benar kata nenek, papah tidak berubah sama sekali.
Sampai suatu hari, papah berurusan dengan kepolisian.
“Dina..din..dina.. suamimu din, suamimu..” teriak
Bulek Jatmi ke mamah waktu itu di pasar ikan. “Ada apa bulek? ada apa dengan
mas irfan?” jawab mamah kaget. “Itu din,
suamimu, anu, anu.” Jawab bulek dengan gugup. “suamimu ditangkap polisi.”
Imbuhnya. “Apa? Darimana bulek tahu.” Jawab mamah gemetar bukan kepalang. Bulek Jatmi, adalah adik kandung nenekku.
Beliau bersahabat akrab dengan mamahku. Jadi dipastikan segala informasi dari
beliau terjamin keakuratannya, bukan gosip simpang siur belaka. Mamah memang
sengaja menutup komunikasi dengan papah. Akan tetapi informasi penting sering
datang sendiri dari orang-orang terdekat. Bulek bercerita kalau papah ditangkap
polisi dan dijebloskan ke penjara sebagai tersangka. Sontak berita ini membuat
mamah kalut dan gelisah luar biasa. “Tenangkan pikiranmu din, kamu langsung ke
kantor polisi saja, biar ibuk yang memberesi dagangan, nanti saya nyusul.”ucap
nenek.
Tak lama kemudian, sampailah mamah di kantor
polisi. Ditemuinya papah didalam jeruji besi dengan kondisi yang mengenaskan. Papah
tampak lebih kurus, pucat dengan kantung mata yang semakin melebar. Seperti ada
masalah besar sedang menimpa papah yang membuatnya depresi. Benar kata bulek
Jatmi bahwa papah dimasukkan penjara sebagai tersangka. Waktu itu, papah
tertangkap basah sedang pesta narkoba dengan teman-temannya dirumahnya. Dalam
kondisi tidak sadar papah dan teman-temannya diseret di kantor polisi untuk
dimintai keterangan. Dalam persidangan tidak ada yang bisa membela papah,
karena memang sudah terbukti ditemukan 1 kg ganja dirumahnya. Tiga tahun, papah
akan merasakan dinginnya penjara.
Semenjak itu, mamah rutin menjenguk papah.
Dikirimkannya buah-buah segar dan makanan hasil masakannya sendiri. Setidaknya seminggu
sekali mamah benar-benar meluangkan waktu untuk melihat kondisi papah. Terkadang
aku juga ikut, ketika tidak ada jadwal les tambahan atau program
ekstrakurikuler di sekolah. Nenek jarang menjenguk, karena memang beliau sudah tidak muda lagi,
merasa kecapekan jika harus berpegian jauh. Dirawatnya papah dengan sangat
lembut. Seolah mamah lupa dengan semua luka yang digoreskan papah di waktu yang
lalu. Awalnya dulu papah selalu menolak untuk dijenguk mamah, karena merasa
malu atas sikapnya selama ini. Namun mamah tetap kukuh berjuang untuk bertemu
suaminya. Papah sudah banyak berubah dan cenderung diam. Mungkin beliau sadar,
hanya mamah lah yang setia menjamunya sampai saat ini. Proses penyembuhan dan
rehabilitasi sepertinya bekerja dengan baik. Terkadang mereka bersendau gurau
dan saling menggoda satu sama lain. Kulihat muka mamah dengan pekat, iya..mamah
masih sangat mencintai papah. Lagi-lagi aku kagum dengan kesabaran mamah.
Fajar menyingsing, aku dan mamah segera
bersiap-siap untuk menjemput papah. Mamah berdandan tipis namun tampak cantik dan
segar rona mukanya. Segera aku siapkan apa saja yang perlu kami bawa. Dengan
menggunakan baju terbaik, kami segera berpamitan dengan nenek dan segera
berangkat. “Do’akan kami ya buk.” Ucap mamah sembari berpamitan ke nenek. Butuh waktu dua jam untuk sampai ke lokasi
dengan tiga kali naik angkutan dan satu kali naik bis umum.
Di kantor polisi tepat jam 09.00 pagi, papah akan
dikeluarkan dari penjara. Kulihat dalam-dalam muka mamah yang harap-harap cemas
tidak sabar menyambut suaminya. “Dina..dina..Terima kasih dina sudah mau
merawatku selama ini. Mohon ma’afkan aku yang sudah khilaf menyakitimu selama
ini.” Ujar papah pertama kali. Kami berpelukan seolah sepasang kekasih yang
tidak pernah bertemu. Isak haru mengiringi perjalanan kami. Kami pulang ke
rumah nenek dengan rasa yang berkecamuk tapi sedikit lega. Bagaimana dengan
kehidupan keluarga kami setelah ini?
Sesampai dirumah, nenek dan beberapa tetangga sudah
menunggui kami diruang tamu. Sepertinya kabar papah sudah bebas dari penjara
hari ini sudah tersebar luas di penjuru kampung. Sehingga tanpa kode apapun,
para tetangga juga ikut menyamput papah pulang. Entah karena benar-benar ingin
ikut menyambut atau hanya karena ingin melihat kondisi papah yang sekarang. “Syukurlah
irfan, akhirnya kamu pulang.” Tutur nenek dengan nada ikhlas dan sedikit
gemetar. Sepertinya itu adalah rasa haru dan lega yang tidak mampu disembunyikan.
Setelah itu papah meminta ijin ke nenek untuk
membawa kami pulang kerumahnya. Sebenarya aku kaget mendengarnya. Mungkin
karena ada kekhawatiran dalam diriku kalau kisah lama terulang kembali. Walaupun
papah tampak baik, tapi sifat kejamnya bisa muncul kapanpun juga. Aku tidak mau
melihat mamah mengalami penyiksaan yang bertubi. Namun kali ini papah mampu
meyakinkan kami dan tampak sungguh-sungguh akan berubah.
Akhirnya kami memutuskan tinggal bersama di juana,
salah satu daerah dikotaku dimana tempat aku dilahirkan dulu. Papah kemudian
bekerja sebagai nelayan disana dan mamah tetap bekerja sebagai penjual ikan
segar di pasar. Kami hidup bahagia, itulah harapanku.
Tuhan, terima kasih sudah mengirimkan
kembali papahku
Semangkuk ice cream coklat ini tidak hanya
untuk mamahku, tapi juga papahku
0 komentar:
Posting Komentar