Kamis, 24 Desember 2015

Secuil Kisah & Pengalaman Pertama di Flores



A.    Kopi Dingin di Manggarai Barat

Akhir tahun 2015, Tepatnya di tanggal 22 di bulan November, Aku berkesempatan mengunjungi pulau yang paling timur di Indonesisa, yaitu Flores Nusa Tenggara Timur. Ini kali pertama aku menginjakkan kaki ke tanah flores, setelah menempuh perjalanan udara Yogyakarta -Denpasar sekitar 2 jam dan Denpasar-Labuan Bajo sekitar 1,5 jam dengan tambahan waktu menunggu dan delay beberapa jam.

            “Welcome to Flores, Rosi!” Teriak teman baruku kelahiran Italia yang saya kenal di Bandara Denpasar. Segera ku hirup nafas dalam-dalam sembari menutup mata dan mengucap rasa syukur tiada tara. “Yei..aku di Labuan Bajo!!”Teriakku dalam hati. Cuaca panas di Labuan Bajo menerpa wajahku seketika aku keluar dari bandara. Labuan Bajo memang terkenal sangat panas, karena memang gersang dan dekat dengan pantai, bahkan issue kekeringan juga melanda di daerah yang terkenal pulau komodo-nya ini.

Dari Bandara Labuan Bajo, aku dijemput oleh seorang teman, sebutlah “Kak Tarsi”. Segera ku lemparkan senyum terbaikku untukknya. Tepat jam 5 sore kami memulai perjalanan menuju kota Golowelu via mobil rental dengan jarak tempuh sekitar 5 jam.  Kak Tarsi benar-benar menjadi teman perjalanan yang menyenangkan.  Dia menjelaskan panjang lebar disepanjang perjalanan, mulai dari nama kota yang kami lewati,kebudayaan dan adat istiadat setempat. Sekitar setengah perjalanan, kami berhenti untuk menikmati makan malam disebuah warung jawa. Beruntungnya, menu yang disajikan cocok dengan lidah saya, yaitu menu ikan laut dan bakso. “Yummy!!”. Disaat kami sedang makan, terdengar suara nyanyian koor yang indah sekali didengar. Kak Tarsi menjelaskan bahwa itu adalah koor anak-anak gereja yang sedang berlatih untuk persiapan natal. Walaupun aku tidak mengerti artinya, karena menggunakan bahasa manggarai, tapi sungguh merdu sekali, komposisi suara 1, 2 dan 3 ditambah alunan musik yang pas, membuat selera makan kami jadi bertambah. Tak perlu menunggu lama, kami kembali menancap gas menuju ruteng. Sekitar jam 10 malam, sampailah kami di Kota Golowelu.

 Hangatnya Kopi Mengalahkan Dinginnya Golowelu
Setiba di Golowelu, hawa  sangat dingin langsung menyergapku. Cuaca yang sangat berbeda dengan di Labuan Bajo. Jaket tebal langsung aku kenakan tanpa berfikir panjang.  Aku menginap di rumah warga (aku lupa namanya, hadeh). Mereka langsung menyiapkan kamar untukku. Sebelum aku beranjak tidur, kusempatkan untuk mengobrol sebentar untuk sekedar memperkenalkan diri. Tiba-tiba satu gelas kopi hitam sudah  ada didepanku. Sontak membuatku kaget. Pertama aku tidak terbiasa minum kopi malam-malam, kedua di Jawa jarang tamu perempuan disuguhi kopi. Aku langsung utarakan kekagetanku. Mereka langsung menyambut kepolosanku dengan candaan “Disini siapapun  biasa minum kopi hitam, dan kami jamin kopi kami tidak bikin kembung” tutur mereka. Walaa..dan ternyata kopinya memang enak, tidak bikin kembung dan ampuh untuk melawan rasa dingin. Seusai ngobrol, aku pun langsung tidur untuk menyiapkan tenaga esok pagi.



Selamat Pagi Golowelu! Aku hampir tidak berani mandi. Untung tante baik, sudah disiapkan air panas 2 termos untukku. Seusai mandi, tante juga sudah menyiapkan sarapan dengan menu ikan laut..arrgh..love it so much! Tak lupa secangkir kopi hitam sudah diseduhkan untukku juga. Eng ing eng.. Aku siap melakukan perjalanan lagi hari ini.

Jam 08:00 pagi aku segera menuju kantor lembaga kami yang tak jauh dari lokasi aku menginap.Cukup dengan berjalan kaki saja sekitar 5 menit. Sebatas informasi bahwa lembaga kami  adalah sebuah yayasan yang bergerak tentang pemenuhan hak anak dan pemberdayaan masyarakat. Teman-teman di kantor menyambutku dengan ramah dilanjutkan dengan pembahasan jadwal yang bisa aku lakukan selama 2 hari disini. Mari aku kenalkan siapa saja mereka. Mereka  adalah Om paul, Konrad, Tarsi (yang menjemputku dibandara), Eka, Yenni, Wey, Wanri, Cinox dan Cristo. 

Hari Pertama, Senin  23 November 2015.



Kak Konrad dan Om paul mengajakku menuju desa Compang. Dari Golowelu ke Compang memakan waktu sekitar 1,5 jam via motor. Perjalanan kami cukup panjang, namun kami tidak merasa lelah, karena sepanjang jalan kami disuguhi pemandangan yang luar biasa indah. Bagaimana Tuhan bisa melukis langit yang demikian biru, daun serta rerumputan yang hijau segar disandingkan dengan pegunungan yang tampak memukau ditambah suara serangga yang mempermanis perjalanan kami. Jalan yang kami lewati pun tidak mulus, banyak bebatuan dan lumpur yang kapan saja bisa membuat kami tergelincir. Tapi karena Kak Konrad sudah lihai menempuh jalan tersebut, jadi nasibku aman. Hanya saja dua kali aku harus terpaksa turun dari motor, karena jalanan batu terjal naik membuat motor kami agak kuwalahan, haiyah.  Dan sepanjang jalan kami tertawa bersama karena kejadian tersebut. Sebenarnya tidak lucu sih, tapi apapun itu kami harus bahagia.haha


Akhirnya sampailah kami di Compang, beberapa orang sudah menunggu kami disana. “Hai Om Markus!” Sapaku ke salah satu warga yang kebetulan sudah pernah aku jumpai di Jawa Tengah beberapa waktu lalu. Kusalami mereka satu persatu sembari memperkenalkan diri. Om Markus adalah salah satu tokoh adat yang sangat disegani dan beliau juga menjadi partner kerja kami di Compang.

Mata pencaharian masyarakat Compang mayoritas adalah petani. Mereka bertanam apa saja yang mereka anggap laku dipasar. Beberapa tante yang menemuiku disana juga bercerita bahwa mereka mempunyai banyak tanaman di Ladang, mulai dari Padi,Jagung, cabai, Sayuran dan sebagainya. Namun harga beli rendah, karena semua keluarga pasti punya tanaman, jadi tidak ada yang perlu beli. Tidak hanya itu, peternakan juga sejauh ini hanya dipelihara untuk pemenuhan kebutuhan mereka sendiri, belum ada pasar untuk daerah lain. Miris memang mendengar cerita mereka, perputaran uang sangatlah rendah, sehingga tingkat perekonomian mereka juga susah untuk meningkat. Hasil alam yang harusnya bisa di ekspor ke daerah lain, namun belum ada sistem pemerintahan di Flores yang serius untuk mengelola hal tersebut.

Setelah kami ngobrol cukup banyak, kami melanjutkan perjalanan menuju ke beberapa sekolah dasar. Sekolah yang pertama aku jumpai sudah cukup baik gedungnya. Namun ada beberapa hal yang miris untuk dilihat terkait fasilitas pembelajaran. Misalnya kursi dan meja yang reyot dan sudah tidak layak, papan tulis yang sudah banyak lubang dimana-mana, buku pelajaran yang terbatas  dan toilet tanpa air yang cukup. Timbul pertanyaan didalam hatiku “Bagaimana mereka bisa  belajar dengan nyaman jika mereka harus duduk berdesak-desakan satu meja dan satu kursi panjang untuk 4 -5 murid?”


Aku jadi teringat sesuatu tentang mimpiku. Melakukan perjalanan ke Indonesia Timur adalah hal yang kuimpikan sejak kecil. Keinginan itu mulai muncul ketika aku sering melihat berita di TV tentang bagaimana susahnya anak-anak menempuh perjalanan ke sekolah. Aku juga masih ingat betul, ada yang harus rela berjalan kaki berkilo-kilo meter demi  mendapatkan pendidikan. Ada yang harus bergelanyutan di jembatan putus yang tak kunjung di perbaiki, ada juga juga yang harus keluar masuk hutan dengan banyak binatang yang berlalu lalang bahkan ada juga yang harus rela menyebrangi sungai dengan arus deras hanya dengan “gethek” yang sangat membahayakan diri mereka. Tragis memang.

Mulai dari situlah, aku mulai bermimpi untuk bisa mengunjungi mereka. Aku ingin melihat fenomena tersebut “ apakah itu benar-benar ada?” , sedangkan aku yang hidup dikota, yang walaupun tidak kota besar, sangat mudah berangkat ke sekolah. Aku hanya perlu naik sepeda onthel kesayangannku tanpa harus merasakan “ngos-ngosan”. Bahkan aku juga bisa berjalan kaki tatkala hujan dengan tangan kanannku menggenggam payung. Aku tanpa perlu harus melewati jalan yang naik-turun, berliku dan becek yang akan membuat badanku pegal  dan bajuku kotor sebelum aku sampai ke sekolah.

Fenomena tersebut sekarang ada didepan mataku yang kapan saja mampu membuatkan terbelalak dan merasa pilu. Anak-anak harus menempuh perjalanan yang sangat panjang menuju ke sekolah. Berjalan kaki 1 sampai 4 jam adalah hal yang biasa untuk mereka. Mereka dituntut untuk menjadi sosok yang kuat mulai dari kecil. Bahkan ada juga yang harus keluar masuk hutan, menggendong adeknya yang masih kelas satu SD, dengan tanpa bekal apapun dari rumah. Jangankan ada istilah uang saku, kantin juga tidak tersedia disekolah.

Apakah mereka tampak mengeluh dan sedih? “Tidak!” Mereka sangat biasa melakukan itu. Mereka selalu menyapaku “Selamat Siang” Tutur mereka serempak ketika melihat kami melintas. Duh, terharunya diriku. Inilah yang tak pernah kutemukan selama tinggal di Kota besar. Hidup dikota besar yang sudah individualis, jangankan menyapa orang yang tidak dikenal, melirikpun mungkin sudah tidak diajarkan ketika masih kecil.

Program-program untuk anak-anak disini haruslah ditingkatkan, mulai dari pemenuhan fasilitas pendidikan hingga kualitas metode pengajaran, agar output anak-anak ini mampu bersaing dengan zaman yang serba modern ini. Cetusan untuk program pemberian makanan tambahan juga merupakan hal yang sangat baik diterapkan disini. Karena anak-anak ketika tiba disekolah dalam kondisi yang sudah lapar. Bisa dipastikan mereka sangat kelelahan sehingga rasa ngantuk  ketika disekolah dan tidak mampu menyerap pelajaran dengan baik.

Anak putus sekolah juga menjadi issue yang hangat diperbincangkan disini. Banyak anak yang memutuskan untuk keluar dari sekolah karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan, cuaca yang tidak bersahabat serta perekonomian keluarga yang sangat miskin. Sehingga anak-anak terpaksa membantu orang tua mereka untuk bercocok tanam atau beternak demi menopang kebutuhan hidup mereka. Cuaca hujan juga menghambat mereka untuk terus datang ke sekolah. Karena kondisi jalan yang buruk dan berlumpur membuat mereka kesulitan untuk melangkah, terlebih lagi bagi mereka yang melewati hutan, pohon kapan saja siap roboh menghantam tubuh mungil mereka. Belum lagi hewan-hewan melata seperti ular, lintah dan serangga yang berlalu lalang didepan mereka. Selain itu, kesadaran untuk menempuh pendidikan juga masih sangat rendah, jadi Pemerintah haruslah gencar mengadakan sosialisasi pentingnya pendidikan yang dibarengi dengan pemenuhan fasilitas pendidikan yang memadai. 


Sore hari kami memutuskan untuk kerumah Om Markus. Kami akan bermalam disana. Eh..sebentar, sunset disini wow banget. Indah dan Indah. Sinar orange nya menerobos awan yang berusaha menghalanginya. Menerpa pepohonan yang memantul mengenai wajahku. Cuaca semilir dingin dan rumput yang sudah mulai basah. Berlalu lalang Mama-mama yang sudah pulang dari kebun, bapak-bapak yang berjalan diiringi oleh anjing peliharaan mereka. Tiap orang menggunakan kain yang tebal, dan beberapa orang melilitkan syal dileher. Suasana Damai.


Akhirnya tibalah kami dirumah Om Markus. Disitulah aku baru menjumpai sedikit sinyal ponsel. Ponselku sesekali berdering menerima pesan yang tertunda, karena seharian aku tidak bisa mengaksesnya dan tidak mendapatkan sinyal. Tower  seluler masih langka disini. Jangankan tower, listrik juga belum masuk. Masyarakat menggunakan genset untuk menghidupkan listrik mereka. 

Genset adalah bagian dari hidup mereka. Genset rusak berarti tidak ada cahaya. Tidak ada cahaya berarti malam-malam benar-benar malam. Gelap!. Tidak semua keluarga mempunyai genset. Ada yang masih menggunakan lampu-lampu “teplok” untuk menerangi malam mereka. Jadi jangan harap menemukan hiburan berupa televisi disini. Karena masih terhitung sangat langka.

Malam ini, Om Markus mengajak kami berkunjung ke rumah warga. Banyak mama-mama dan anak-anak yang sudah berkumpul menunggu kehadiran kami. Mereka sudah datang lebih awal dengan berjalan kaki dibantu senter yang menerangi. Belum 5 menit aku duduk, kopi hitam sudah ada didepan mata. Eitss..tapi aku udah tidak seheran dulu hehe. Kami banyak berdiskusi tentang program pemberdayaan masyarakat. Sesekali juga aku selipkan teori tentang hak-hak anak. Mereka mau mendengarkanku dengan seksama. Mereka sangat terbuka untuk hal-hal baru. Mungkin pertama kali melihat mereka  akan terasa seram, tapi setelah melihat mereka tersenyum , lepas sudah rasa takut, yang ada hanyalah rasa damai untuk saling berbagi. Oiya..Om Markus di forum tadi memanggilku dengan sebutan “adik”. Ceileeehh..

Jam 10 malam kami sudah kembali ke rumah Om Markus. Makan malam sudah  disiapkan oleh keluarganya. Jamuan makan malam yang benar-benar mantap untuk perutku yang sudah keroncongan sedari tadi.haha. Lalu kami lanjutkan dengan ngobrol kesana kemari. Aku sangat antusias terkait budaya disini. Mulai dari adat pernikahan dan lain-lain.

Di Manggarai, ada yang  disebut dengan “Belis”. Belis adalah mahar pernikahan oleh laki-laki untuk calon istri. Belis disini terhitung sangat mahal. Ada yang sampai puluhan juta hingga ratusan juta. Bisa juga berupa hewan ternak, misalnya lima ekor babi. Semuanya itu adalah untuk pemenuhan hidangan selama pesta. Namun, ada satu budaya yang unik. Seluruh anggota keluarga harus berkumpul jika ada anggota keluarga yang akan menikah.Mereka mengadakan “tanggung renteng” untuk kebutuhan belis. Mereka membantu iuran untuk itu. Dan hal demikian terjadi turun menurun.

Sama halnya jika ada anggota keluarga yang berniat ingin sekolah atau kuliah diluar daerah. Mereka akan berdiskusi bersama dan membantu membayarkan biaya sekolah. Dengan harapan dia akan sukses bersekolah dan membangun daerahnya kelak. Keren ya...

Issue pilkada sedang hangat dibicarakan disini. Jadi tidak heran malam ini sangat ramai. Banyak orang berlalu-lalang dirumah Om Markus. Karena rumah beliau dekat dengan rumah adat yang digunakan untuk berkumpul bersama. Aku selalu bersalaman ke setiap orang yang datang. Dan aku harus berkenalan berkali-kali. Namun sayangnya aku tidak mengerti bahasa mereka. Apa yang mereka sedang bicarakan. Tiba-tiba saja mereka tertawa sembari melihatku. Aku lalu menoleh protes ke Om Paul. Om Paul berusaha menjelaskan. Mereka sedang bercanda tentang aku yang single dan akan dicarikan lelaki disini. Siapa tau cocok. hadeh!

Mereka lebih sering mengobrol menggunakan bahasa Manggarai. Aku berusaha menjadi pendengar yang baik. Aku dengar, ada pasangan calon partai politik yang sedang berkampanye supaya mendapatkan suara ketika pemilu nanti. Dilanjutkan dengan suara nyanyian daerah dan dangdut yang menjadi hiburan untuk anak-anak muda disini. Ayoo..goyang mang,eh :P

Malam pun semakin malam. Jam menunjukkan jam 12, aku mulai mundur dari kursi dan beranjak ke kasur yang sudah disiapkan oleh mama. Terima Kasih Tuhan. Aku siap tidur dalam kondisi kenyang. “Selamat istirahat Mama” ucapku. Semoga mama tidak kena tendanganku yang tiba-tiba muncul tanpa sadar saat tidur.hehe

Hari Kedua, Selasa  24 November 2015.


Pagi segera menyergap. Hari ini tidak begitu dingin. Aku segera bangun setelah mama menyibak kelambu tempat tidurku. Aku tidur sangat nyenyak. Cahaya mulai masuk menerobos jendela kamar. Ku buka jendela lebar-lebar dan kuhirup udara pagi yang segar dan tanpa polusi. Ku cuci muka dan gosok gigi dikamar mandi umum dekat rumah adat. Warga disini tidak mempunyai toilet pribadi seperti di kota. Mereka masih menggunakan toilet umum untuk memenuhi kebutuhan air dan sanitasi.

“Selamat pagi semuanya” Sapaku dengan kutunjukkan gigi putihku yang selesai aku sikat. Ternyata mereka bangun lebih awal dibandingkan aku.haha. Kami mulai berdiskusi tentang rencana kami hari ini. Namun sebelum kami beranjak, kami sudah disuguhi sarapan pagi dan segelas kopi hitam untuk penyemangat. Dilanjutkan dengan foto bersama sebagai kenang-kenangan. Terima Kasih banyak Om Markus  atas kebaikan kalian. Kami akan melanjutkan perjalanan ke Timur untuk mencari kitab suci. Eh bukan, untuk berkunjung ke beberapa tempat. :)


Pagi menjelang siang kami meninggalkan rumah Om Markus dan berkunjung ke salah satu sekolah di daerah Ranga. Kami harus menempuh perjalanan yang dramatis selama sekitar 45 menit. Kak Konrad dengan tenaga super man nya berusa menjaga keseimbangan motor agar tidak oleng. Jalan turunan berbatu besar yang lumayan banget untuk membuat tulang ini terasa linu.Namun ku akalin dengan menyanyikan lagu demi lagu agar sedikit lupa oleh ngerinya perjalanan ini. Sesampai disekolah, apa yang aku lihat? Lebih memprihatinkan dari yang kemarin. Gedung sekolahnya sangat reyot. Sebagian besar masih menggunakan kayu yang beratapkan seng yang sudah berkarat. Ruang Guru yang sangat sempit dan tidak ada almari untuk menyimpan berkas. Bagaimana jika hujan?entahlah, nggak sanggup membayangkan!



Setelah itu, kami berpamitan dan melanjutkan perjalanan pulang menuju Golowelu. Kami harus segera beranjak karena jika terlalu sore akan bahaya untuk kami. Apalagi jika hujan, akan membuat perjalanan kami jadi terhambat. Kami menyempatkan diri untuk berkunjung ke Puskesmas disana, kami berdiskusi terkait program kesehatan yang akan kami lakukan dibulan desember nanti. Mereka menanggapi kami dengan positif. Syukurlah.

Sepanjang perjalanan pulang, aku menjadi banyak merenung. Hai Pak Presiden! Apakah Pak Presiden pernah blusukan kesini? Apakah bapak pernah disapa oleh adik-adik yang sedang pulang sekolah berjalan kaki tanpa alas dengan senyum terindah seperti yang mereka lakukan padaku? Apakah bapak pernah merasakan betapa dramatisnya jalan berbatu dan lumpur ini yang kapanpun bisa membuat kami jatuh terpelanting?argh.. sudahlah, ku putuskan untuk menikmati perjalanan ini sembari mengambil beberapa dokumentasi via kamera digital. Lihatlah! Indahnya gunung yang menjulang itu, setinggi harapan adik-adik yang sedang berjuang untuk terus belajar dan meraih mimpi.


 Hari Ketiga, Rabu  25 November 2015.

Dengan perasaan sedikit masgul, ku ucapkan selamat tinggal Golowelu! Sampai jumpa dilain kesempatan ya. Dengan diantarkan oleh kak konrad via motor, aku meninggalkan Golowelu menuju kota Ruteng sekitar satu jam perjalanan. Rasa sedih berpisah dengan mereka. Belum banyak yang aku lakukan disana, namun kewajiban lain sudah harus aku lakukan. Hiks

Kami melangkah menuju kota Ruteng. Kota yang sedikit lebih hangat dibandingkan di Golowelu. Disini aku dihibur oleh indahnya “Spider Field Rice”, yaitu sawah yang berbentuk menyerupai persis seperti jaring laba-laba. Indah nian. Pembagian tanah demikian sudah ada sejak leluhur pada zaman dahulu. Hijau bak permadani. Gambar yang dulu biasanya aku jumpai di kalender, sekarang benar-benar ada didepan mataku. Tuhan memang Maha Baik. Terima Kasih.

Tibalah kami di Ruteng sekitar jam 11 siang. “Terima Kasih Kak Konrad sudah mengantarku”ujarku dengan senyum yang mengembang. Aku segera masuk keruangan yang sudah disiapkan oleh teman-teman dari Kota Borong. Kami saling berkenalan dan banyak berdiskusi tentang program terkait pemenuhan hak anak dan pemberdayaan masyarakat. Sore mulai tiba, kami beranjak dari tempat ini dan segera menuju kota Borong, Manggarai Timur.

Dari Ruteng ke Borong sekitar 1,5 jam via mobil. Kami sempat berhenti sebentar untuk menikmati indahnya Danau Maungmese dari tepi jalan. Ditambah lagi monyet-monyet yang bergelantungan dipepohonan. Kami sengaja melempari biskuit agar mereka mau mendekat.”They are so cute!” Decit suara monyet seolah memanggil teman-teman mereka. Gerombolan monyet berlarian dan ini sungguh menjadi pemandangan yang sangat menakjubkan bagiku. Mereka hidup secara bebas di alam. Dan yang paling penting, mereka tidak terganggu dengan kehadiran kami.


Baru setelah satu jam perjalanan, aku merasakan hal yang berbeda. Tadi yang aku lihat hijau, rimbun dan segar, sekarang mulai gersang dan tandus. Kota Borong adalah kota yang sangat panas karena merupakan daerah pesisir. “Apalagi bulan ini belum turun hujan”ujar mereka. Ketika siang hari, panas bisa mencapai 40 derajat Celcius. Duh, siap-siap gosong!

Baca Cerita selanjutnya di http://sejutaceritamuda.blogspot.co.id/2015/12/aku-pun-jatuh-cinta-berkali-kali-dengan.html


2 komentar: