A.
Kopi
Dingin di Manggarai Barat
Akhir tahun 2015, Tepatnya di tanggal 22
di bulan November, Aku berkesempatan mengunjungi pulau yang paling timur di
Indonesisa, yaitu Flores Nusa Tenggara Timur. Ini kali pertama aku menginjakkan
kaki ke tanah flores, setelah menempuh perjalanan udara Yogyakarta -Denpasar
sekitar 2 jam dan Denpasar-Labuan Bajo sekitar 1,5 jam dengan tambahan waktu
menunggu dan delay beberapa jam.
“Welcome
to Flores, Rosi!” Teriak teman baruku kelahiran Italia yang saya kenal di
Bandara Denpasar. Segera ku hirup nafas dalam-dalam sembari menutup mata dan
mengucap rasa syukur tiada tara. “Yei..aku di Labuan Bajo!!”Teriakku dalam
hati. Cuaca panas di Labuan Bajo menerpa wajahku seketika aku keluar dari
bandara. Labuan Bajo memang terkenal sangat panas, karena memang gersang dan
dekat dengan pantai, bahkan issue kekeringan juga melanda di daerah yang
terkenal pulau komodo-nya ini.
Dari Bandara Labuan Bajo, aku dijemput
oleh seorang teman, sebutlah “Kak Tarsi”. Segera ku lemparkan senyum terbaikku
untukknya. Tepat jam 5 sore kami memulai perjalanan menuju kota Golowelu via
mobil rental dengan jarak tempuh sekitar 5 jam.
Kak Tarsi benar-benar menjadi teman perjalanan yang menyenangkan. Dia menjelaskan panjang lebar disepanjang
perjalanan, mulai dari nama kota yang kami lewati,kebudayaan dan adat istiadat
setempat. Sekitar setengah perjalanan, kami berhenti untuk menikmati makan
malam disebuah warung jawa. Beruntungnya, menu yang disajikan cocok dengan
lidah saya, yaitu menu ikan laut dan bakso. “Yummy!!”. Disaat kami sedang
makan, terdengar suara nyanyian koor yang indah sekali didengar. Kak Tarsi
menjelaskan bahwa itu adalah koor anak-anak gereja yang sedang berlatih untuk
persiapan natal. Walaupun aku tidak mengerti artinya, karena menggunakan bahasa
manggarai, tapi sungguh merdu sekali, komposisi suara 1, 2 dan 3 ditambah
alunan musik yang pas, membuat selera makan kami jadi bertambah. Tak perlu
menunggu lama, kami kembali menancap gas menuju ruteng. Sekitar jam 10 malam,
sampailah kami di Kota Golowelu.
Hangatnya
Kopi Mengalahkan Dinginnya Golowelu
Setiba di Golowelu, hawa sangat dingin langsung menyergapku. Cuaca
yang sangat berbeda dengan di Labuan Bajo. Jaket tebal langsung aku kenakan
tanpa berfikir panjang. Aku menginap di
rumah warga (aku lupa namanya, hadeh). Mereka langsung menyiapkan kamar
untukku. Sebelum aku beranjak tidur, kusempatkan untuk mengobrol sebentar untuk
sekedar memperkenalkan diri. Tiba-tiba satu gelas kopi hitam sudah ada didepanku. Sontak membuatku kaget. Pertama aku tidak terbiasa minum kopi
malam-malam, kedua di Jawa jarang
tamu perempuan disuguhi kopi. Aku langsung utarakan kekagetanku. Mereka
langsung menyambut kepolosanku dengan candaan “Disini siapapun biasa minum
kopi hitam, dan kami jamin kopi kami tidak bikin kembung” tutur mereka.
Walaa..dan ternyata kopinya memang enak, tidak bikin kembung dan ampuh untuk
melawan rasa dingin. Seusai ngobrol, aku pun langsung tidur untuk menyiapkan
tenaga esok pagi.
Selamat
Pagi Golowelu! Aku hampir tidak berani mandi. Untung
tante baik, sudah disiapkan air panas 2 termos untukku. Seusai mandi, tante
juga sudah menyiapkan sarapan dengan menu ikan laut..arrgh..love it so much! Tak lupa secangkir kopi hitam sudah
diseduhkan untukku juga. Eng ing eng.. Aku siap melakukan perjalanan lagi hari
ini.
Jam 08:00 pagi aku segera menuju kantor
lembaga kami yang tak jauh dari lokasi aku menginap.Cukup dengan berjalan kaki
saja sekitar 5 menit. Sebatas informasi bahwa lembaga kami adalah sebuah yayasan yang bergerak tentang
pemenuhan hak anak dan pemberdayaan masyarakat. Teman-teman di kantor
menyambutku dengan ramah dilanjutkan dengan pembahasan jadwal yang bisa aku
lakukan selama 2 hari disini. Mari aku kenalkan siapa saja mereka. Mereka adalah Om paul, Konrad, Tarsi (yang
menjemputku dibandara), Eka, Yenni, Wey, Wanri, Cinox dan Cristo.
Hari Pertama,
Senin 23 November 2015.
Kak Konrad dan Om paul mengajakku menuju
desa Compang. Dari Golowelu ke Compang memakan waktu sekitar 1,5 jam via motor.
Perjalanan kami cukup panjang, namun kami tidak merasa lelah, karena sepanjang
jalan kami disuguhi pemandangan yang luar biasa indah. Bagaimana Tuhan bisa
melukis langit yang demikian biru, daun serta rerumputan yang hijau segar
disandingkan dengan pegunungan yang tampak memukau ditambah suara serangga yang
mempermanis perjalanan kami. Jalan yang kami lewati pun tidak mulus, banyak
bebatuan dan lumpur yang kapan saja bisa membuat kami tergelincir. Tapi karena
Kak Konrad sudah lihai menempuh jalan tersebut, jadi nasibku aman. Hanya saja
dua kali aku harus terpaksa turun dari motor, karena jalanan batu terjal naik
membuat motor kami agak kuwalahan, haiyah. Dan sepanjang jalan kami tertawa bersama
karena kejadian tersebut. Sebenarnya tidak lucu sih, tapi apapun itu kami harus
bahagia.haha
Akhirnya sampailah kami di Compang,
beberapa orang sudah menunggu kami disana. “Hai
Om Markus!” Sapaku ke salah satu warga yang kebetulan sudah pernah aku
jumpai di Jawa Tengah beberapa waktu lalu. Kusalami mereka satu persatu sembari
memperkenalkan diri. Om Markus adalah salah satu tokoh adat yang sangat
disegani dan beliau juga menjadi partner kerja kami di Compang.
Mata pencaharian masyarakat Compang
mayoritas adalah petani. Mereka bertanam apa saja yang mereka anggap laku
dipasar. Beberapa tante yang menemuiku disana juga bercerita bahwa mereka
mempunyai banyak tanaman di Ladang, mulai dari Padi,Jagung, cabai, Sayuran dan
sebagainya. Namun harga beli rendah, karena semua keluarga pasti punya tanaman,
jadi tidak ada yang perlu beli. Tidak hanya itu, peternakan juga sejauh ini
hanya dipelihara untuk pemenuhan kebutuhan mereka sendiri, belum ada pasar
untuk daerah lain. Miris memang mendengar cerita mereka, perputaran uang
sangatlah rendah, sehingga tingkat perekonomian mereka juga susah untuk
meningkat. Hasil alam yang harusnya bisa di ekspor ke daerah lain, namun belum
ada sistem pemerintahan di Flores yang serius untuk mengelola hal tersebut.
Setelah kami ngobrol cukup banyak, kami
melanjutkan perjalanan menuju ke beberapa sekolah dasar. Sekolah yang pertama
aku jumpai sudah cukup baik gedungnya. Namun ada beberapa hal yang miris untuk
dilihat terkait fasilitas pembelajaran. Misalnya kursi dan meja yang reyot dan
sudah tidak layak, papan tulis yang sudah banyak lubang dimana-mana, buku
pelajaran yang terbatas dan toilet tanpa
air yang cukup. Timbul pertanyaan didalam hatiku “Bagaimana mereka bisa belajar dengan nyaman jika mereka harus duduk
berdesak-desakan satu meja dan satu kursi panjang untuk 4 -5 murid?”
Aku jadi teringat sesuatu tentang
mimpiku. Melakukan perjalanan ke Indonesia Timur adalah hal yang kuimpikan
sejak kecil. Keinginan itu mulai muncul ketika aku sering melihat berita di TV
tentang bagaimana susahnya anak-anak menempuh perjalanan ke sekolah. Aku juga
masih ingat betul, ada yang harus rela berjalan kaki berkilo-kilo meter
demi mendapatkan pendidikan. Ada yang
harus bergelanyutan di jembatan putus yang tak kunjung di perbaiki, ada juga
juga yang harus keluar masuk hutan dengan banyak binatang yang berlalu lalang
bahkan ada juga yang harus rela menyebrangi sungai dengan arus deras hanya
dengan “gethek” yang sangat membahayakan diri mereka. Tragis memang.
Mulai dari situlah, aku mulai bermimpi
untuk bisa mengunjungi mereka. Aku ingin melihat fenomena tersebut “ apakah itu
benar-benar ada?” , sedangkan aku yang hidup dikota, yang walaupun tidak kota
besar, sangat mudah berangkat ke sekolah. Aku hanya perlu naik sepeda onthel
kesayangannku tanpa harus merasakan “ngos-ngosan”. Bahkan aku juga bisa
berjalan kaki tatkala hujan dengan tangan kanannku menggenggam payung. Aku
tanpa perlu harus melewati jalan yang naik-turun, berliku dan becek yang akan
membuat badanku pegal dan bajuku kotor
sebelum aku sampai ke sekolah.
Fenomena tersebut sekarang ada didepan
mataku yang kapan saja mampu membuatkan terbelalak dan merasa pilu. Anak-anak
harus menempuh perjalanan yang sangat panjang menuju ke sekolah. Berjalan kaki
1 sampai 4 jam adalah hal yang biasa untuk mereka. Mereka dituntut untuk
menjadi sosok yang kuat mulai dari kecil. Bahkan ada juga yang harus keluar
masuk hutan, menggendong adeknya yang masih kelas satu SD, dengan tanpa bekal
apapun dari rumah. Jangankan ada istilah uang saku, kantin juga tidak tersedia
disekolah.
Apakah mereka tampak mengeluh dan sedih?
“Tidak!” Mereka sangat biasa melakukan itu. Mereka selalu menyapaku “Selamat Siang” Tutur mereka serempak
ketika melihat kami melintas. Duh, terharunya diriku. Inilah yang tak pernah
kutemukan selama tinggal di Kota besar. Hidup dikota besar yang sudah
individualis, jangankan menyapa orang yang tidak dikenal, melirikpun mungkin
sudah tidak diajarkan ketika masih kecil.
Program-program untuk anak-anak disini
haruslah ditingkatkan, mulai dari pemenuhan fasilitas pendidikan hingga
kualitas metode pengajaran, agar output anak-anak ini mampu bersaing dengan
zaman yang serba modern ini. Cetusan untuk program pemberian makanan tambahan
juga merupakan hal yang sangat baik diterapkan disini. Karena anak-anak ketika
tiba disekolah dalam kondisi yang sudah lapar. Bisa dipastikan mereka sangat
kelelahan sehingga rasa ngantuk ketika
disekolah dan tidak mampu menyerap pelajaran dengan baik.
Anak putus sekolah juga menjadi issue
yang hangat diperbincangkan disini. Banyak anak yang memutuskan untuk keluar
dari sekolah karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan, cuaca yang tidak
bersahabat serta perekonomian keluarga yang sangat miskin. Sehingga anak-anak
terpaksa membantu orang tua mereka untuk bercocok tanam atau beternak demi
menopang kebutuhan hidup mereka. Cuaca hujan juga menghambat mereka untuk terus
datang ke sekolah. Karena kondisi jalan yang buruk dan berlumpur membuat mereka
kesulitan untuk melangkah, terlebih lagi bagi mereka yang melewati hutan, pohon
kapan saja siap roboh menghantam tubuh mungil mereka. Belum lagi hewan-hewan
melata seperti ular, lintah dan serangga yang berlalu lalang didepan mereka.
Selain itu, kesadaran untuk menempuh pendidikan juga masih sangat rendah, jadi
Pemerintah haruslah gencar mengadakan sosialisasi pentingnya pendidikan yang dibarengi
dengan pemenuhan fasilitas pendidikan yang memadai.
Sore hari kami memutuskan untuk kerumah
Om Markus. Kami akan bermalam disana. Eh..sebentar, sunset disini wow banget.
Indah dan Indah. Sinar orange nya menerobos awan yang berusaha menghalanginya.
Menerpa pepohonan yang memantul mengenai wajahku. Cuaca semilir dingin dan
rumput yang sudah mulai basah. Berlalu lalang Mama-mama yang sudah pulang dari
kebun, bapak-bapak yang berjalan diiringi oleh anjing peliharaan mereka. Tiap
orang menggunakan kain yang tebal, dan beberapa orang melilitkan syal dileher.
Suasana Damai.
Akhirnya tibalah kami dirumah Om Markus.
Disitulah aku baru menjumpai sedikit sinyal ponsel. Ponselku sesekali berdering
menerima pesan yang tertunda, karena seharian aku tidak bisa mengaksesnya dan
tidak mendapatkan sinyal. Tower seluler
masih langka disini. Jangankan tower, listrik juga belum masuk. Masyarakat
menggunakan genset untuk menghidupkan listrik mereka.
Genset adalah bagian dari hidup mereka.
Genset rusak berarti tidak ada cahaya. Tidak ada cahaya berarti malam-malam
benar-benar malam. Gelap!. Tidak semua keluarga mempunyai genset. Ada yang
masih menggunakan lampu-lampu “teplok” untuk menerangi malam mereka. Jadi
jangan harap menemukan hiburan berupa televisi disini. Karena masih terhitung
sangat langka.
Malam ini, Om Markus mengajak kami
berkunjung ke rumah warga. Banyak mama-mama dan anak-anak yang sudah berkumpul
menunggu kehadiran kami. Mereka sudah datang lebih awal dengan berjalan kaki
dibantu senter yang menerangi. Belum 5 menit aku duduk, kopi hitam sudah ada
didepan mata. Eitss..tapi aku udah tidak seheran dulu hehe. Kami banyak
berdiskusi tentang program pemberdayaan masyarakat. Sesekali juga aku selipkan
teori tentang hak-hak anak. Mereka mau mendengarkanku dengan seksama. Mereka
sangat terbuka untuk hal-hal baru. Mungkin pertama kali melihat mereka akan terasa seram, tapi setelah melihat
mereka tersenyum , lepas sudah rasa takut, yang ada hanyalah rasa damai untuk
saling berbagi. Oiya..Om Markus di forum tadi memanggilku dengan sebutan
“adik”. Ceileeehh..
Jam 10 malam kami sudah kembali ke rumah
Om Markus. Makan malam sudah disiapkan
oleh keluarganya. Jamuan makan malam yang benar-benar mantap untuk perutku yang
sudah keroncongan sedari tadi.haha. Lalu kami lanjutkan dengan ngobrol kesana
kemari. Aku sangat antusias terkait budaya disini. Mulai dari adat pernikahan
dan lain-lain.
Di Manggarai, ada yang disebut dengan “Belis”. Belis adalah mahar
pernikahan oleh laki-laki untuk calon istri. Belis disini terhitung sangat
mahal. Ada yang sampai puluhan juta hingga ratusan juta. Bisa juga berupa hewan
ternak, misalnya lima ekor babi. Semuanya itu adalah untuk pemenuhan hidangan
selama pesta. Namun, ada satu budaya yang unik. Seluruh anggota keluarga harus
berkumpul jika ada anggota keluarga yang akan menikah.Mereka mengadakan
“tanggung renteng” untuk kebutuhan belis. Mereka membantu iuran untuk itu. Dan
hal demikian terjadi turun menurun.
Sama halnya jika ada anggota keluarga
yang berniat ingin sekolah atau kuliah diluar daerah. Mereka akan berdiskusi
bersama dan membantu membayarkan biaya sekolah. Dengan harapan dia akan sukses
bersekolah dan membangun daerahnya kelak. Keren ya...
Issue pilkada sedang hangat dibicarakan
disini. Jadi tidak heran malam ini sangat ramai. Banyak orang berlalu-lalang
dirumah Om Markus. Karena rumah beliau dekat dengan rumah adat yang digunakan
untuk berkumpul bersama. Aku selalu bersalaman ke setiap orang yang datang. Dan
aku harus berkenalan berkali-kali. Namun sayangnya aku tidak mengerti bahasa
mereka. Apa yang mereka sedang bicarakan. Tiba-tiba saja mereka tertawa sembari
melihatku. Aku lalu menoleh protes ke Om Paul. Om Paul berusaha menjelaskan.
Mereka sedang bercanda tentang aku yang single dan akan dicarikan lelaki
disini. Siapa tau cocok. hadeh!
Mereka lebih sering mengobrol
menggunakan bahasa Manggarai. Aku berusaha menjadi pendengar yang baik. Aku
dengar, ada pasangan calon partai politik yang sedang berkampanye supaya
mendapatkan suara ketika pemilu nanti. Dilanjutkan dengan suara nyanyian daerah
dan dangdut yang menjadi hiburan untuk anak-anak muda disini. Ayoo..goyang mang,eh :P
Malam pun semakin malam. Jam menunjukkan
jam 12, aku mulai mundur dari kursi dan beranjak ke kasur yang sudah disiapkan
oleh mama. Terima Kasih Tuhan. Aku siap tidur dalam kondisi kenyang. “Selamat
istirahat Mama” ucapku. Semoga mama tidak kena tendanganku yang tiba-tiba
muncul tanpa sadar saat tidur.hehe
Hari Kedua, Selasa 24 November 2015.
Pagi segera menyergap. Hari ini tidak
begitu dingin. Aku segera bangun setelah mama menyibak kelambu tempat tidurku.
Aku tidur sangat nyenyak. Cahaya mulai masuk menerobos jendela kamar. Ku buka
jendela lebar-lebar dan kuhirup udara pagi yang segar dan tanpa polusi. Ku cuci
muka dan gosok gigi dikamar mandi umum dekat rumah adat. Warga disini tidak
mempunyai toilet pribadi seperti di kota. Mereka masih menggunakan toilet umum
untuk memenuhi kebutuhan air dan sanitasi.
“Selamat
pagi semuanya” Sapaku dengan kutunjukkan gigi putihku
yang selesai aku sikat. Ternyata mereka bangun lebih awal dibandingkan
aku.haha. Kami mulai berdiskusi tentang rencana kami hari ini. Namun sebelum
kami beranjak, kami sudah disuguhi sarapan pagi dan segelas kopi hitam untuk
penyemangat. Dilanjutkan dengan foto bersama sebagai kenang-kenangan. Terima
Kasih banyak Om Markus atas kebaikan
kalian. Kami akan melanjutkan perjalanan ke Timur untuk mencari kitab suci. Eh
bukan, untuk berkunjung ke beberapa tempat. :)
Pagi menjelang siang kami meninggalkan
rumah Om Markus dan berkunjung ke salah satu sekolah di daerah Ranga. Kami
harus menempuh perjalanan yang dramatis selama sekitar 45 menit. Kak Konrad
dengan tenaga super man nya berusa
menjaga keseimbangan motor agar tidak oleng. Jalan turunan berbatu besar yang
lumayan banget untuk membuat tulang ini terasa linu.Namun ku akalin dengan
menyanyikan lagu demi lagu agar sedikit lupa oleh ngerinya perjalanan ini.
Sesampai disekolah, apa yang aku lihat? Lebih memprihatinkan dari yang kemarin.
Gedung sekolahnya sangat reyot. Sebagian besar masih menggunakan kayu yang
beratapkan seng yang sudah berkarat. Ruang Guru yang sangat sempit dan tidak ada
almari untuk menyimpan berkas. Bagaimana jika hujan?entahlah, nggak sanggup
membayangkan!
Setelah itu, kami berpamitan dan
melanjutkan perjalanan pulang menuju Golowelu. Kami harus segera beranjak
karena jika terlalu sore akan bahaya untuk kami. Apalagi jika hujan, akan
membuat perjalanan kami jadi terhambat. Kami menyempatkan diri untuk berkunjung
ke Puskesmas disana, kami berdiskusi terkait program kesehatan yang akan kami
lakukan dibulan desember nanti. Mereka menanggapi kami dengan positif.
Syukurlah.
Sepanjang perjalanan pulang, aku menjadi
banyak merenung. Hai Pak Presiden! Apakah Pak Presiden pernah blusukan kesini?
Apakah bapak pernah disapa oleh adik-adik yang sedang pulang sekolah berjalan
kaki tanpa alas dengan senyum terindah seperti yang mereka lakukan padaku?
Apakah bapak pernah merasakan betapa dramatisnya jalan berbatu dan lumpur ini
yang kapanpun bisa membuat kami jatuh terpelanting?argh.. sudahlah, ku putuskan
untuk menikmati perjalanan ini sembari mengambil beberapa dokumentasi via
kamera digital. Lihatlah! Indahnya gunung yang menjulang itu, setinggi harapan
adik-adik yang sedang berjuang untuk terus belajar dan meraih mimpi.
Hari
Ketiga, Rabu 25 November 2015.
Dengan perasaan sedikit masgul, ku
ucapkan selamat tinggal Golowelu! Sampai jumpa dilain kesempatan ya. Dengan
diantarkan oleh kak konrad via motor, aku meninggalkan Golowelu menuju kota
Ruteng sekitar satu jam perjalanan. Rasa sedih berpisah dengan mereka. Belum
banyak yang aku lakukan disana, namun kewajiban lain sudah harus aku lakukan. Hiks
Kami melangkah menuju kota Ruteng. Kota
yang sedikit lebih hangat dibandingkan di Golowelu. Disini aku dihibur oleh
indahnya “Spider Field Rice”, yaitu
sawah yang berbentuk menyerupai persis seperti jaring laba-laba. Indah nian.
Pembagian tanah demikian sudah ada sejak leluhur pada zaman dahulu. Hijau bak
permadani. Gambar yang dulu biasanya aku jumpai di kalender, sekarang
benar-benar ada didepan mataku. Tuhan memang Maha Baik. Terima Kasih.
Tibalah kami di Ruteng sekitar jam 11
siang. “Terima Kasih Kak Konrad sudah
mengantarku”ujarku dengan senyum yang mengembang. Aku segera masuk
keruangan yang sudah disiapkan oleh teman-teman dari Kota Borong. Kami saling
berkenalan dan banyak berdiskusi tentang program terkait pemenuhan hak anak dan
pemberdayaan masyarakat. Sore mulai tiba, kami beranjak dari tempat ini dan
segera menuju kota Borong, Manggarai Timur.
Dari Ruteng ke Borong sekitar 1,5 jam
via mobil. Kami sempat berhenti sebentar untuk menikmati indahnya Danau Maungmese
dari tepi jalan. Ditambah lagi monyet-monyet yang bergelantungan dipepohonan.
Kami sengaja melempari biskuit agar mereka mau mendekat.”They are so cute!” Decit suara monyet seolah memanggil
teman-teman mereka. Gerombolan monyet berlarian dan ini sungguh menjadi
pemandangan yang sangat menakjubkan bagiku. Mereka hidup secara bebas di alam.
Dan yang paling penting, mereka tidak terganggu dengan kehadiran kami.
Baru setelah satu jam perjalanan, aku
merasakan hal yang berbeda. Tadi yang aku lihat hijau, rimbun dan segar,
sekarang mulai gersang dan tandus. Kota Borong adalah kota yang sangat panas
karena merupakan daerah pesisir. “Apalagi bulan ini belum turun hujan”ujar
mereka. Ketika siang hari, panas bisa mencapai 40 derajat Celcius. Duh, siap-siap gosong!
Baca Cerita selanjutnya di http://sejutaceritamuda.blogspot.co.id/2015/12/aku-pun-jatuh-cinta-berkali-kali-dengan.html
Baca Cerita selanjutnya di http://sejutaceritamuda.blogspot.co.id/2015/12/aku-pun-jatuh-cinta-berkali-kali-dengan.html
ciye... punya blog nich...
BalasHapusCiee.. yang baru tahu aku punya blog.. hehe :P
BalasHapus