Kamis, 24 Desember 2015

Tips dan Trick Back Packer Ke Kampung Wae Rebo Manggarai Barat Flores NTT


Untuk menggapai Kampung adat Manggarai yang biasa disebut Wae Rebo ini, bukanlah hal yang mudah. Kampung yang berada diantara dua bukit di Flores Nusa Tenggara Timur ini sangat indah dengan rumah kerucut Mbaru Niang nya. Namun, untuk mengecap keindahan tersebut, traveller dituntut untuk mampu tracking sejauh berpuluh kilometer dengan waktu tempuh kira-kira 4 jam perjalanan. Jalanan terjal berbatu diikuti dengan jalanan naik diantara tebing dan jurang hingga melewati jembatan anyaman bambu untuk menyebrangi sungai adalah tantangan yang harus dihadapi. Untuk itu, tips dan tricks untuk melewati itu semua sangatlah perlu untuk diperhatikan.

1.       Bawalah Barang Secukupnya Dengan Tas Nyaman.
Menempuh perjalanan kaki  yang jauh itu artinya bahwa traveller  harus bergantung pada kekuatan tubuh kita sendiri.  Bawalah barang  yang dibutuhkan saja. Misalnya baju ganti satu buah dan cemilan selama dijalan. Taruhlah barang-barangmu ditas ransel yang nyaman dipunggung. Jangan sampai kamu kerepotan jalan hanya perkara tas yang melukai punggungmu.

2.       Membawa Cemilan Bersifat Wajib.
Kenapa demikian? Karena 4 jam perjalanan via tracking, bukanlah waktu yang sebentar. Membawa cemilan adalah solusi yang terbaik jika kamu merasa haus dan lapar. Karena disana kamu tidak akan menemukan warung. Yang kamu lihat hanyalah rimbunnya pepohonan di hutan. Baru ketika kamu sampai ke Wae Rebo akan mendapatkan suguhan yang hangat dari warga disana.

3.       Siapkan Baju hangat dan Kaos Kaki.
Di waerebo memang akan  disiapkan selimut oleh warganya.Namun mempersiapkan baju hangat sendiri adalah ide yang brilliant. Ketika malam mulai datang, kamu harus siap tertusuk hawa dingin. Kaos kaki akan menjadi dewa penyelamatmu untuk tetap hangat dan membuat tidurmu jadi nyenyak dan segar ketika bangunpagi.

4.       Ambil Uang Cash
Warung saja tidak ada, apalagi ATM. Kamu bisa menarik uang secukupnya di Labuan Bajo atau di Kota Ruteng. Biaya yang wajib kamu bayarkan per orang untuk masuk ke Waerebo adalah IDR 200 ribu, sedangkan jika ingin bermalam adalah IDR 325 ribu. Biaya tersebut diluar biaya transportasi menuju ke Wae Rebo dan sewa porter lho.

5.       Sepatu Tracking.
Sepatu yang nyaman aja tidak cukup, karena jalanan yang akan kamu lalui sangat membutuhkan sepatu dengan yang mampu untuk menggigit. Sendal gunung juga tidak direkomendasikan, karena jika kemasukan air akan menjadi sangat licin dan bahaya jika jalan turun.

6.       Persiapkan Fisik dengan Baik
Ini adalah poin sangat penting, karena dengan fisik yang sudah terlatih  akan memudahkan traveller melakukan perjalanan ini. Jika fisik dalam kondisi lemah, disarankan untuk tidak ikut tracking, karena jika ada gangguan kesehatan akan jauh dari tempat istirahat ataupun tempat perawatan medis. Mulailah dengan sarapan dan minum minuman yang berenergi.

7.       Pakaian yang nyaman.
Tracking membutuhkan pakaian yang lebih longgar. Hindari menggunakan pakaian yang terlalu ketat atau berbahan dasar jeans. Dengan pakaian yang nyaman, nafasmu pun akan lebih teratur dan otot tidak terasa tertarik. Pakaian panjang juga direkomendasikan, agar aman dari ancaman lintah atau serangga yang lain ketika tracking.

8.       Bawa senter atau alat penerangan.
Di Wae Rebo ketika malam hari sangatlah  gelap, jadi disarankan untuk membawa senter atau sejenisnya sebagai alat bantu penerangan. Atau misalnya ketika memutuskan untuk turun dari Wae Rebo yang terlalu malam, maka senter akan menjadi penolongmu dari kegelapan malam ditengah hutan.

9.       Berikan kabar kepada orang terkasih.
Ketika memulai tracking, kamu sudah tidak akan menemukan sinyal ponsel. Jadi alangkah lebih baiknya memberi kabar kepada orang terdekatmu bahwa kamu akan tidak bisa dihubungi dalam beberapa hari kedepan, sehingga mereka tidak akan merasa cemas.

10.   Bawalah sesuatu untuk anak-anak Wae  Rebo
Ini sifatnya optional. Namun kamu akan mempunyai pengalaman lebih jika kamu memberikan sedikit yang kamu punya untuk anak-anak Wae Rebo. Ketahuilah , mereka masih jauh dari kata modern dan harus berjuang sekolah dibawah. Dengan kamu bawa sesuatu, seperti buku bacaan, atau media pembelajaran lainnya pasti akan sangat membantu mereka.

Sekian ya, semoga membantu dan selamat menikmati perjalanan ke Negeri di Atas Awan atau kampung Wae Rebo!! Hip Hip

Baca Kisah Perjalananku ke Kampung Waerebo di http://sejutaceritamuda.blogspot.co.id/2015/12/backpacker-ke-kampung-wae-rebo_49.html





Backpacker ke Kampung Wae Rebo Manggarai Barat Flores Nusa Tenggara Timur

Hari Keenam, Sabtu 28 November 2015
Di Kota  Ruteng, aku menginap di rumah seorang teman, sebut saja “keluarga Om Paul”. Aku tiba  dirumah Om Paul jam 5 sore. Masih ingat kan dengan Om Paul? Beliau adalah teman kerja di Golowelu itu lho.hehe. Tante Evi, istri Om Paul, menyambutku dengan penuh  suka cita. Aku sangat diterima baik disana. Mereka juga sudah menyiapkan tempat tidur untukku.

Cuaca di Ruteng sangatlah dingin. Untuk memegang air saja, harus benar-benar memberanikan diri.hehe karena notabene aku belum terbiasa dengan cuaca yang demikian. Om Paul dan sekeluarga benar-benar memberikan kehangatan selama aku  disana. Dalam istilah mereka “Tamu adalah Raja”, mungkin inilah salah satu adat istiadat yang sekarang sudah mulai ditinggalkan, namun tidak dikeluarga mereka.Tamu benar-benar diberikan pelayanan yang terbaik. Bahkan aku harus rela makan sebelum lapar.

Om Paul tinggal dengan 3 anak dan satu istri. Mereka adalah Puput, Chili, Alvin dan Tante Evi. Aku tidak perlu lama beradaptasi dengan mereka, karena mereka sangat welcome dan membuka diri dengan tamu. Apalagi adik-adik yang sangat lucu. Si Puput yang sudah menginjak usia puber dan suka dandan feminin, Si Chili yang rajin sekali membantu memasak dan si kecil Alvin yang hobi sekali bermain kelereng.


Pagi ini dingin, jauh berbeda dengan pengalamanku dua hari yang lalu selama di Borong. Aku benar-benar merasakan cuaca yang sangat extreme. Dari yang sangat panas menuju ke sangat dingin. Tubuh ini serasa sedikit protes dan menunjukkan ketidakberesannya. Aku mulai merasa mual di pagi hari. Nafsu makan juga menurun. Namun aku mencoba untuk tetap sehat dengan meneguk vitamin mengingat aku harus menikmati liburan weekend ini dengan jalan-jalan. Kami memutuskan, pagi ini berangkat ke Negeri di atas awan atau biasa disebut Kampung Wae Rebo.


(Kisah tentang aku dan mimpi yang hampir tak tergapai)


Wae Rebo adalah kampung adat Manggarai yang masih tetap dihuni dan masih berpegang teguh pada adat istiadat. Masyarakat tinggal di “Mbaru Niang,” sebutan untuk rumah adat yang beratap ijuk kerucut dengan diameter sekitar 11-15 meter yang bisa dihuni hingga 6-7 buah keluarga.Uniknya adalah dapur dan tungku mereka berada  ditengah-tengah rumah. Sehingga rumah terasa hangat dan sangat kekeluargaan mengingat cuaca yang begitu dingin.

Perjalanan menuju kesini sangatlah panjang dan jauh dari kata mudah. Selain itu biayanya juga tergolong cukup mahal dengan perjuangan yang ektra. Oke, aku akan menceritakan perjalananku ini mulai dari Kota Ruteng.

Dari Kota Ruteng, kami berangkat ber-empat. Mereka adalah Om Paul, Tante Evi dan Kak Fandry. Kami boncengan dua-dua via motor. Tidak banyak yang aku siapkan. Aku membawa sebungkus snack, minuman di botol, Jas hujan dari plastik dan payung. Aku hanya berfikir, kalau hujan setidaknya aman, karena jaket yang aku kenakan berbahan waterproof .

Jam 09:00 pagi kami meninggalkan rumah Om Paul yang tentunya setelah sarapan. Sebenarnya tidak ada satupun dari kami yang pernah ke Wae Rebo. Kami hanya pernah sedikit mendengar bahwa menuju ke Wae Rebo butuh jalan kaki sekitar 4 jam. Sungguh! Kami sangat minim informasi. Hanya modal nekad dan bertanya sepanjang perjalanan.

Sebelum tancap gas terlalu jauh, kami tidak lupa mampir ke Pom Bensin dan membeli beberapa snack untuk bekal selama perjalanan. Sekitar kurang dari Jam 10 pagi, kami sudah siap untuk meluncur. Target kami adalah untuk mencapai daerah Dintor, yaitu desa terakhir yang bisa dilalui motor menuju Wae Rebo.

Perjalanan dari Ruteng menuju Dintor sebenarnya bisa menggunakan transportasi umum. Bentuknya seperti truck yang mengangkut pasir yang diberikan kursi berjajar  ditengahnya dengan harga yang terjangkau tentunya.

Duhai indahnya perjalanan kami hari ini. Kami melewati gunung, lembah hingga pesisir pantai. 3 jam lebih tidak terasa kami lalui. Hijaunya sawah berlukiskan sarang laba-laba dengan susunan teraseringnya, turunan serta tikungan tajam yang elok, Suara  serangga yang melolong, Sejuknya udara tanpa polusi dan pantai yang lengkap dengan deru ombaknya. Hampir saja aku ingin berhenti terus berfoto sebentar. Tapi kuurungkan niatku karena perjalanan kami masih panjang. Apalagi pepohonan kemiri yang rindang dengan warna daun hijau dengan semburat putih menambah keindahan siang ini.

Tepat jam 13:15 sampailah kami di Dintor. Kami langsung standart kan motor dalam kondisi dikunci. Disana kami melihat sedang ada perbaikan dan pengaspalan jalan. Bapak-bapak melihat kami dan melempar senyum ramah seolah berkata “Selamat menempuh Wae Rebo”.  Di titik inilah kami juga bertemu dengan serombongan anak muda dari Ruteng yang sudah bermalam di daerah Dintor yang ditemani oleh guide.

Lokasi Wae Rebo berada di lembah diantara pegunungan, hanya bisa ditempuh melalui jalan kaki selama 4 jam dengan medan bervariasi mulai dari jalanan berbatu, jalan terjal gunung yang menanjak dan terakhir melewati sungai dengan jembatan bambu.

Yups, langkah pertama aku mulai. Jalan naik berbatu mulai kami daki. Langkah demi langkah coba aku tempuh. Karena ini siang hari, aku mulai terasa kepanasan. Kubuka jaket tebalku berharap nafasku menjadi lebih longgar. Namun baru selang sekitar 15 menit, aku sudah merasakan tersengal-sengal dan pusing luar biasa. Aku mencoba untuk duduk dan mengatur nafas. Lalu aku jalan kembali dengan bantuan tongkat di tangan. Dan itu tampak berbeda melihat Om Paul dan Tante Evi. Mereka tampak gesit dan lincah melangkahkan kaki. Bagaimana dengan Kak Fandry? Sedari tadi dia sibuk menatapku dengan rasa prihatin.


Rasa gengsiku pun membuncah. Masak aku yang lebih muda saja kalah? Aku putuskan untuk terus melangkah dengan tongkat saktiku. Lagi dan lagi aku terkapar lemah. Aku pusing luar biasa. Dunia terasa berputar. Sudah lama aku tidak merasakan hal demikian. Dulu aku pernah merasakan begini yang diikuti dengan pingsan. Serius, aku hampir pingsan. Aku akhirnya asal duduk dibebatuan. Yang terpenting adalah aku tidak mau memaksakan  diri. Kak Fandry terus menyemangatiku untuk melanjutkan perjalanan ini. Aku hanya mampu bilang “Ijinkan aku istirahat, karena aku tahu batas kemampuan tubuhku” Jawabku lemah.


“Mukamu Biru” Kata Kak Fandry. Ku tatap mukaku di pantulan kamera. Ah..memang benar.. aku tampak pucat. Mulai kuingat-ingat, tenyata tadi pagi aku memang kurang sarapan dan terbuang karena muntah. Ini adalah kesalahanku yang pertama. Tracking dalam kondisi perut kosong.

Ku buka tas ku lalu ku keluarkan snack coklat yang ku bawa, mulai ku makan untuk doppingan tenaga. Setidaknya perutku harus terisi. Hap..hap kulanjutkan perjalanan lagi. Bertemulah kami dengan Om dan Tante yang sudah lebih dulu jalan. Mereka menertawai aku karena jalan menggunakan tongkat. “Awas ya Om, Tante .”Jawabku kecut.haha. Setelah itu aku meminta air penambah tenaga yang tante punya.

Aku meminta ke Om dan Tante untuk jalan lebih dulu, karena aku tidak mau mereka hanya menunggu jalanku yang seperti siput ini. Apalagi sedari tadi mereka kepikiran dengan motor yang kami parkirkan di sembarang tempat tanpa dititipkan ke siapapun, walaupun sebenarnya kami yakin bahwa disini lingkungannya aman, tidak akan ada pencurian motor (red: curanmor).

Kak Fandry dengan berbaik hati membawakan jaket tebalku. Aku berusaha  terus berjalan dengan sesekali bertanya “Berapa lama lagi?” “Ah..sebentar juga sampai” Jawab Kak Fandry enteng. Aku juga sempat bertanya dengan seorang lelaki yang sedang mengerjakan proyek jalan, beliau menjawab sekitar 2 kilo lagi. Arghh.. benar-benar kalimat surga untuk menyemangat saja, padahal kami tahu kalau jawaban itu bohong belaka.

Aku benar-benar kehilangan akal untuk bertahan di jalan berbatu ini. Selain berat, sakit  juga dikaki. Namun setelah 2 jam kami berjalan, bertemulah kami dengan aliran sungai yang cukup deras. Kubasuh muka dan kakiku lalu kuminum air beberapa teguk untuk mengembalikan tenagaku yang  hilang. Kulihat Om, Tante dan rombongan remaja tadi sedang asyik berfoto bersama. Aku langsung ikut bergabung untuk berfoto dengan muka yang sudah kusut. Kami berfoto di depan papan yang bertuliskan “ Kampung Wae Rebo” .Yei! akhirnya separuh perjalanan kami lalui.


Disini aku juga bertemu dengan rombongan anak-anak dari Kampung Wae Rebo. Om Paul bercerita bahwa anak-anak itu bersekolah dibawah mulai dari senin sampai sabtu. Sejak kelas satu SD mereka diwajibkan hidup mandiri, karena mereka harus mempersiapkan keperluan sekolahnya sendiri dan terpisah dari orang tua. Mereka menginap di rumah singgah di Kombo, sebuah kampung pemekaran dari Waerebo. Setiap libur sekolah  atau hari sabtu siang mereka pulang ke rumah orang tuanya di Waerebo yang tentunya dengan berjalan kaki selama 3 jam terlebih dahulu seperti yang aku lakukan sekarang. Wow!

Tante Evi suka sekali berdialogue dengan mereka. Lalu dibagilah snack yang beliau bawa dari Ruteng. Namun, karena tante terlalu baik, dibagilah semua makanannya, sampai lupa untuk dirinya sendiri. Hihi
Setelah puas berfoto, kami melanjutkan perjalanan lagi. Jalan yang akan kami lalui adalah jalan naik tanah diantar tebing dan jurang. Aku liat adek-adek yang mengenakan tas sekolah dan membawa barang dikepala mereka. Sepertinya  berisi sembako atau kebutuhan untuk hidup mereka selama di kampung. Aku malu sekali melihat kaki mungil mereka yang begitu kuat dan tangguh untuk jalan yang sejauh ini. Awalnya mereka menemaniku berjalan. Lambat laun mereka meninggalkanku karena aku terlalu banyak berhenti untuk istirahat.

Langkah awal dari air mengalir tadi adalah sekitar 4500 m lagi. Ku lihat tanda itu dalam-dalam. Apa aku bisa melalui ini? Perasaan ragu sudah mengalir deras didarahku. Inilah kesalahanku yang kedua. Aku tidak meyakini apa yang sedang aku kerjakan. Dan itu membuat kemampuanku jadi semakin melemah.

Baru beberapa meter saja aku sudah melambaikan tangan pertanda tidak mampu. Aku ingin, tapi kakiku berat sekali digerakkan. Om Paul dan Tante Evi tertawa cengengesan melihatku. “Duh.. nenek-nenek ini yang biasa ceria mana?”celotehnya.

Ku kerahkan seluruh kekuatanku, namun tak kuat lagi. Segera kubanting tubuhku ditanah. Ada perasaan menyesal. “Kenapa aku memaksakan diri? Apa lebih baik turun?”keluhku “Ayo lanjut, sudah jauh langkah kita, Wae Rebo sudah dekat” Tutur Kak Fandry. Aku menggeleng tidak percaya. Aku pun menitikkan air mata.

Butuh waktu untuk berdamai dengan perasaanku sendiri. Aku tarik nafas dalam-dalam. Kak Fandry juga mengajarkanku untuk menggunakan pernafasan perut agar lebih kuat. Satu hal yang aku sadari. Tanda dijalan yang kami jumpai hanyalah kata-kata surga. 100 meter disini tidak sedekat  jika aku mengukur sendiri dengan ukuran asli sekalipun. Bisa jadi 100 meter disini sebenarnya adalah 500 meter. Nahh looh.. Namun aku harus tetap kuat.

Sampailah kami di titik 3.250 meter lagi. Aku sudah sangat lemah. Aku menangis bombay. Aku benar-benar menyerah. Aku menyatakan ketidak-sanggupanku untuk melanjutkan perjalanan. Walaupun hatiku berteriak ingin, tapi apa daya. “Aku nggak sanggup kak” Rintihku ke Kak Fandry. Aku yakin, Kak Fandry iba melihatku. Dia kali ini lebih banyak diam. Banyak orang lokal Wae Rebo yang berlalu lalang. Namun aku tidak menggubris, aku lelah level dewa.

Kak Fandry tidak pernah bosan menyemangatiku. Bahkan dia tidak pernah mau aku tawarin minuman dari dalam tasku “Tidak usah, nanti minummu habis” Ungkapnya. Ooh.. so sweet, dia sangat menghawatirkanku. Akhirnya aku lepas sepatu berharap langkahku lebih ringan dan aku lanjut lagi dengan terus merangkak naik. Kakiku telanjang!.

Memang sebenarnya, kita seharusnya bermalam dulu di Dintor sebelum tracking ke Kampung  Wae Rebo. Agar tenaga kita bisa penuh. Sedangkan tenaga kami, sudah habis selama perjalanan dari Ruteng, sehingga stamina tinggal yang tersisa. Selain itu, jenis sepatu yang aku gunakan juga kurang tepat. Aku memakai sepatu olahraga dengan sol yang kurang menggigit tanah.


Finally, Sampailah kami di titik 3000 m lagi. Ini adalah titik puncak menuju Wae Rebo. Disana Om Paul dan Tante Evi sudah menungguku. Dengan suara parau Om paul menjelaskan “Kita tidak bisa melanjutkan perjalanan ini Rosi!” ungkapnya. “Tapi demi apa?”protesku. Om Paul menjelaskan, Kampung waerebo sekarang membuat aturan baru, bagi siapapun yang berkunjung harus membayar Rp. 200 ribu rupiah per kepala dan Rp. 325 ribu bagi yang menginap. “Darimana Om tahu, diinternet nggak ada  info tentang itu lho!” jawabku mengelak. Om Paul menjelaskan lagi bahwa dia tahu dari gerombolan anak muda dan guide yang bersimpangan dengan kami tadi. Sedangkan Om Paul hanya ada Rp. 200 ribu di dompetnya. Lalu kulihatlah dompetku. Hanya tersisa Rp. 270 ribu rupiah saja. Oh God!  Kami butuh Rp.800 ribu rupiah.


Kami berdiskusi panjang tentang ini. Ada rasa sebal karena informasi ini kami tidak tahu sebelumnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 15:30. “Silahkan kalian lanjutkan perjalanan nona, aku dan om pulang karena anak-anak juga  sudah menunggu di rumah, bahaya juga untuk om kalau harus turun terlalu malam, mata om tidak bisa melihat jelas kalau malam hari” Tutur Tante Evi kepadaku. “Ya sudah, aku ikut saja baiknya gimana” Jawabku tenang. “Kita harus naik, nanti aku coba tawar.” Kak Fandry Menguatkan.

Tiba-tiba hujan turun dengan deras sekali. Aku segera kenakan jaket ajaibku yang anti air itu. Ku keluarkan jas hujan plastik, kuberikan ke tante. Ku buka payungku, dan tertiup angin sampai rusak tidak bisa digunakan. Hujan kali ini benar-benar dahsyat. Tidak ada tempat berlindung. Hanya ada tebing curam yang kapan saja bisa longsor.

Lalu tiba-tiba Kak Fandry berteriak. “Awas! Air bah!”. Sontak hal ini membuat kami semakin panik. Air berwarna coklat beserta sampah dedaunan kering mengalir deras di jalan setapak yang kami daki ini. Deras sekali. Ini kali pertama aku melihat banjir di gunung. Aku hanya bisa pasrah sembari tersenyum “Terima Kasih Tuhan, apapun yang Engkau beri, aku terima” Ucapku tulus. Badan kami basah.


Tidak lama kemudian, hujan mulai merintik pelan. Kakiku sempat kram, tapi akhirnya sembuh. Aku sempatkan berfoto di tebing ini. Aku nikmati karena aku sudah cukup senang bisa sejauh ini melangkah. Iya, tujuh kilo aku berhasil tracking.  Kami memutuskan untuk turun dengan perasaanku yang sedikit penasaran dengan apa yang dikatakan tentang pembayaran tadi. Kak Fandry membalikkan badannya ke arahku dan bilang dengan tajam “Kalau kamu punya keinginan lanjut, kamu harus tegas! Aku hanya mampu menatapnya nanar.


Belum lama aku melangkah turun, ada local person Wae Rebo yang melintas. Tanpa basa basi aku tanyakan terkait pembayaran itu. Aku langsung berterus terang dengan  jumlah uang yang aku punya. Kak Fandry benar-benar berperan disini. Dia langsung menegosiasikan dengan bahasa manggarai yang aku tidak mengerti. Tapi sedikit yang aku tangkap adalah dia bilang bahwa aku sudah nangis lima kali sebelum mencapai puncak ini. Yaelahh.. aku kan malu kang mas...hemmm.

Yes!! Berhasil. Orang lokal tersebut bilang “Iya..nanti aku bantu menawarkan” tuturnya. Bagaimana dengan Om Paul dan Tante? Mereka sudah terlanjur jauh. Aku sama sekali tidak bisa berkirim pesan untuknya. Tidak ada sinyal ponsel. Aku hanya berteriak keras “Om, Tante, Ma’af kami lanjut!” Sembari aku berkirim pesan lewat suara hatiku dalam-dalam. “Semoga beliau mendengar” Peluhku.

Perjalanan kami kurang 3 km lagi. Entah ada kekuatan darimana, tiba-tiba tenagaku kembali pulih. Ada semangat yang hadir disetiap aliran darahku. Perjalanan terasa lebih mudah. 1 jam sudah aku lewati dengan bertelanjang kaki. Rasa nyeri karena berbenturan dengan kerikil-kerikil kecil dijalan setapak ini. Tak jarang juga duri-duri dari pepohonan yang menancap bebas dikakiku.

Aku tidak pernah mengeluh lagi. Yang aku bayangkan adalah aku harus segera sampai untuk segera turun, karena aku tidak mau Om dan tante terlalu khawatir kepadaku. Aku juga tidak mau membebani Kak Fandry berlarut-larut. Dia sudah sangat membantuku sejak awal tracking tadi.


Tibalah kami di tanda kurang 800 m lagi. “Oh My God! Bentar lagi sampai” Teriakku girang dalam hati. Kak Fandry menatapku dengan rasa gembira. Kami tersenyum bersama-sama dengan perasaan konyol. Belum lama kami melangkah, ada tanda lagi bertuliskan 1600 m lagi. Ya elah..jadi yang tadi angka satu nya ilang? Jleb!

Perjuangan kami semakin dekat. Dari Kejauhan kami melihat rumah kerucut Mbaru Niang Wae Rebo. Akhirnya sampailah kami di jembatan anyaman bambu untuk menyebrangi sungai. Wangi bunga kopi juga menyambut kami. Harum sekali! Aku belum pernah mencium bunga kopi sewangi ini. Bahkan aku sempat mengira bau bunga melati.


Tak lama kemudian, tibalah kami di rumah panggung untuk penyelesaian administrasi. Ku keluarkan uang Rp.270 ribu untuk biaya masuk dan Rp.30 ribu dari Kak Fandry untuk diberikan ke Tokoh Adat sebagai ungkapan penyambutan.

“Hello Kampung Wae  Rebo!” Aku berlarian kegirangan seperti anak kecil. Segera kami masuk ke rumah Ketua Adat sebagai bentuk perijinan. Kami dibacakan do’a yang aku tidak mengerti bahasanya. Disinilah aku bisa melihat fakta bahwa masyarakat Wae Rebo masih sangat menjunjung tinggi roh dan nilai leluhurnya.

Kemudian kami masuk salah satu rumah mereka, sebut saja “Pak Konrad”. Rame sekali di dalam rumahnya. Ada sekat seperti kamar. Jadi benar memang kalau satu rumah bisa dihuni 6-7 keluarga. Mereka sedang sibuk masak ditungku di tengah rumah. Anak-anak sedang bermain. Disitu aku juga melihat ada kasur dan bantal yang sudah disiapkan jika ada tamu yang menginap. Oiya, anjing juga ikut masuk rumah.hihi

Seorang mama menawarkan minuman kopi, aku meminta teh saja,hehe.  Lalu mereka memberikan kue serabi hangat yang cukup besar dan tebal. Kue tersebut dipotong menjadi beberapa bagian seperti Pizza yang sedang mengepul. Sepotong saja sangat cukup mengganjal perut kami yang kosong. Segera kuteguk teh panas agar tubuhku menjadi hangat.

Sebelum kami pulang, mereka memberiku kue serabi ukuran besar sebanyak 2 buah. “Untuk bekal dijalan, supaya tidak kelaparan” tuturnya. ‘Terima kasih Mama, baik sekali” Ucapku. Tidak berlama-lama kami memutuskan untuk segera pulang agar tidak terlalu gelap.. Kami sempatkan foto beberapa kali dan berkenalan bersama teman-teman muda yang sudah lebih awal sampai.


Kak Fandry menantangku “Dua jam sampai bawah ya. Bisa!” “Oke Kak, aku usahakan” ujarku mantap. Aku kenakan sepatuku kembali karena jalan turun lebih bahaya jika aku tidak mengenakan apapun. Hari mulai gelap pertanda aku harus semakin cepat melangkah. Lalu, bagaimana dengan Om Paul? Di sepanjang jalan, aku bertemu dengan beberapa orang menuju Wae Rebo, beliau menitipkan salam dari Om Paul. Kami semakin cepat melangkah, karena ada yang menunggu kami. Ku nyalakan senter sebagai penerang jalan. Untung  saja aku bawa senter, duh!
           
Sesekali aku check ponsel berharap menemukan sinyal. Namun ketika aku menemukan sinyal, tidak satupun pesanku sampai. Langkah yang terbaik adalah mempercepat langkah kaki kami.


Sekitar jam 7 malam, sampailah kami di titik air mengalir, kami segera bersihkan badan dan mengambil air untuk minum. Sungguh keren, satu jam  lebih dikit kami bisa mencapai titik ini.  Sekarang waktunya menempuh jalan berbatu yang siap didepan mata.

Malam itu sepi sekali, langit begitu hitam yang dipenuhi dengan bintang bertaburan. Dengan tenaga yang  tersisa aku coba lewati bebatuan licin yang sempat terkena hujan. Berat sekali, karena mengandung lumpur yang memenuhi sepatuku. Beberapa kali badanku terasa terhuyung.Kami bergandengan tangan  saling menguatkan satu sama lain. Ketika genggamanku melemah, Kak Fandry menarikku seolah menguatkan dan begitupun sebaliknya.

Tepat jam 20:15 sampailah kami di tempat kami parkir motor. Beberapa anak muda sedang asyik berkumpul dan menunggui motor kami. Aku kira ada Om Paul dan Tante disana, ternyata mereka sudah jalan duluan. Syukurlah!. Ternyata benar, mereka menantiku sampai pukul 7 malam dengan perasaan penuh cemas. Terlebih tante, beliau sangat memikirikanku takut aku pingsan atau jatuh ke jurang.hehe

Segera kuhubungi mereka melalui ponsel, Ku jelaskan kondisi kami yang baik-baik saja dan jangan khawatirkan  kami. Sekarang waktunya Kak Fandry yang berjuang lebih berat, karena kami harus menempuh perjalanan via motor sekitar 3-5 jam perjalanan. Let’s go!

Setelah minum air yang tersisa, kami segera mengayuh motor menuju kota Ruteng. Kami melihat ada bulan dengan bulatan penuh didepan kami. Aku bilang “Ayo Kak, Kita kejar bulan itu.” Diapun menjawab dengan santai“Siap,  Tuan Putri” Guyonnya . Ini adalah perjalanan yang paling berat. Hawa dingin sepanjang perjalanan segera kami jumpai.

Satu jam sudah kami lewati, aku meminta ke Kak Fandry untuk berhenti mencari air minum. Beruntunglah kami menjumpai toko sembako. Dengan uang Rp.5.000 ku yang terakhir, aku beli air minum dengan Merk “Ruteng”. Kami juga sempat makan kue serabi yang diberikan mama Wae Rebo tadi. Sembari aku memohon ijin kepada pemilik toko untuk rebahan punggungku sebentar yang sudah tidak ada rasanya.

Kami melanjutkan perjalanan lagi. Jalanan yang siang tadi tampak indah, kini beruba semuanya serba gelap. Bahkan aku tidak mampu melihat pohon kemiri yang siang tadi terlihat berjajar rapi seolah menyambut kedatangan kami. Sedikitpun kami tidak mau berlama-lama menikmati itu semua. Setelah melewati pesisir pantai, masuk hutan dan jalanan yang berkelok tajam, kami memutuskan untuk beristirahat di jalan. Iya, benar-benar ditengah jalan. Kami langsung  tidur merebahkan badan tanpa khawatir ada kendaraan yang lewat. Kami bercengkrama dan tertawa perih bersama sembari melihat bintang dan bulan untuk menghibur diri yang sudah terlampau lelah. Dia bertanya padaku untuk sebutkan satu kata untuk perjalanan ini. “Crazy!” jawabku tanpa berpikir panjang.

Kak Fandry kali ini di tuntut untuk menjadi lelaki super kuat bukan hanya super man. Pertama Kami dua-duanya tidak tahu arah jalan pulang karena semuanya serba  gelap, Kedua Hawa dingin langsung menerpa tubuhnya yang masih basah kuyup dengan bercelana pendek, Ketiga aku tidak bisa menggantikan bawa motor laki itu.

Disinilah moment dimana aku harus bergantian menguatkannya. “Kita pasti mampu melewati ini” Bisikku. Tepat jam 12 malam sekarang, kurang lebih satu jam lagi kami akan sampai di Kota Ruteng. Kami sempat kesasar satu kali karena sama sekali tidak ada penunjuk jalan. Hawa sangat  dingin. Seperti di freezer kulkas. Serius! Tubuh ini rasanya bergetar tanpa diminta. Aku hanya khawatir kami kena hipotermia. Berat sekali rasanya. Terlebih lagi Kak Fandry, dia berjuang sekuat tenaga untuk melawan rasa dingin dengan menggingit rokok dimulutnya.

Segera kulilitkan syall yang aku punya dilehernya, berharap sedikit menolongnya dari rasa dingin. Aku sama sekali tidak mau mengeluh, karena itu hanya akan membuat perjalanan ini semakin terasa berat. Aku masih beruntung karena badanku tidak basah, jadi tidak terlalu menggingil. Dan posisi dudukku dibelakang juga menguntungkan untukku yang secara tidak langsung terkena angin malam.

Akhirnya Kak Fandry mencoba melihat kanan kiri untuk mencari kardus bekas. Tidak lama kami menemukan toko yang masih buka dan kami meminta kardus secara gratis. Lalu dibakarlah kardus tersebut agar sedikit menghangatkan badan. Aku lebih memilih berlarian kecil, karena dengan begitu tubuhku juga terasa lebih hangat.

Tanda lalu lintas menuju ke Ruteng akhirnya kami temui setelah hampir 5 jam kami dimotor. Sebentar lagi kami sampai. Dan kuhembuskan nafas lega setelah kami tiba di gapura selamat datang ke Kota Ruteng. Tepat jam 1 malam, kami tiba dirumah Om Paul. We did it guy! Big Thanks. Aku pun memeluknya erat.

Dalam perjalanan yang amazing ini aku belajar banyak hal. Ini bukan hanya tentang aku di Wae Rebo tapi tentang hidup, nilai juang dan pantang menyerah. Ceritaku ini akan berbeda jika aku memutuskan turun ketika di puncak minus 3 km. Tapi dengan semangat dan keyakinan pasti bisa, aku bisa mencapai Wae Rebo yang dulu hanya di angan-anganku semata.

Itulah alasanku mengapa aku memberikan judul ceritaku ini dengan “Kisah tentang aku dan mimpi yang hampir tak tergapai”. Karena ketika aku melanjutkan perjalanan minus 3 km itu rasanya lebih mudah. Bukan hanya karena semangatku yang pulih, tapi karena memang medannya lebih datar dan mudah untuk ditapaki. Disini aku menyebutkan “Wae Rebo” sebagai sebuah goal atau mimpi. Sedangkan perjalananku adalah sebuah usaha menuju mimpi. Terkadang kita harus menangis dan hampir menyerah untuk meraihnya padahal tanpa kita sadari mimpi itu sudah dekat. Banyak orang memutuskan untuk benar-benar menyerah dengan keadaan tanpa tahu bahwa apa yang diinginkan itu udah dekat didepan mata.

Aku juga salut dengan Om Paul dan Tante. Mereka sangatlah hebat. Kuangkat topiku setinggi-tingginya. Walaupun mereka tidak sampai Wae Rebo, namun mereka sudah berhasil mencapai puncak minus 3km. Tidak semua orang diusia beliau mampu tracking sejauh itu tanpa mengeluh kan?. Dan keputusnnya untuk turun, adalah keputusan yang paling bijak.


Kak Fandry. Aku speechless dengannya. Aku berhutang banyak yang tidak akan pernah mampu aku bayar. Dia sudah menyelamatkan aku dari rasa tidak yakin, tidak mampu dan tidak semangat. Dia mengajarkanku untuk terus menggapai mimpi dengan langkah yang tegas. Aku bisa bilang, Kak Fandry disini adalah sebagai partner. Dalam meraih mimpi, kita juga harus mempunyai partner yang tepat. Bisa bayangkan kan? Andaikan waktu itu dia mengiyakan aku untuk turun  dan menyerah. Maka tidak akan pernah ada kisahku berkunjung di Wae  Rebo.


Aku juga berterima kasih dengan masyarakat Wae Rebo, walaupun tidak sampai satu jam aku disana, aku sangat merasakan kehangatan dalam sebuah keluarga.

Aku Pun Jatuh Cinta Berkali-Kali Dengan Anak-Anak Di Borong

B. Kopi Panas di Manggarai Timur
Hari Keempat, Kamis 26 November 2015
           Hari ini aku bangun pagi, dan bersiap diri menuju kantor di Borong. Aku bermalam dirumah Kak Dedy, salah satu rekan kerjaku. Kak Dedy tinggal bersama satu anak perempuan bernama Della yang imut dan mulai suka bercerita, satu jagoan lelaki kecilnya yang masih belajar merangkak dan satu istri yang biasa aku panggil Mama Della. Mereka menerimaku dengan sangat baik. Aku juga sangat nyaman tinggal disini, karena kebetulan kami memeluk agama yang sama yang setidaknya membuatku merasa lebih leluasa untuk beribadah.

              Sarapan pagi dan secangkit teh hangat sudah Mama Della siapkan untukku. Segera ku santap mengingat akan banyak aktivitas seharian nanti. Disini aku tidak berani mengharapkan udara sejuk dan segar seperti di Ruteng maupun Golowelu. Jam 8 pagi terik matahari sudah mulai menusuk. Bedanya dengan dikotaku adalah, kalau di kota cuaca panas karena sudah berpolusi pabrik dan kendaraan bermotor, sedangkan disini panasnya asli, sumpah asli, beh!            

             Ku mulai masuk ke kantor dan menyapa teman-teman semua. Mari aku kenalkan. Ada Om Ronald, Ken, Peter, Hans, Herry, Dedy, Fandhel, Relis dan satu-satu staff perempuan Tante Voni. Oiya, masyarakat manggarai sering dipanggil “Om” untuk laki-laki dewasa dan “Tante” untuk perempuan dewasa. Ini berbeda dengan dikotaku yang lebih akrab disapa “Mas atau Mbak”.


                Pagi ini aku di ajak Kak Ken untuk berkeliling mengenali kota Borong. Dulu mungkin aku sering bertanya-tanya “Sepanas apa sih Borong?” dan sekarang aku merasakan sendiri. Aku tidak perlu mengenakan jaket, bahkan menggunakan baju saja sudah terasa gerah.”It’s really hot in and out side” haha.  Yang aku lihat adalah pepohonan yang gersang, tanah yang tandus dan rumput yang mulai mengering. Petak sawah tanpa padi dan sibuk ditempati oleh puluhan ekor sapi yang sedang merumput. Kehidupan di  Borong lebih modern. Sudah ada listrik, sinyal ponsel dan internet juga tersedia. Banyak warung yang menjajakan aneka ragam makanan, toko yang menyediakan kebutuhan serta ada pom bensin di tengah kota.


Hari pertamaku di kota Borong, kami berkunjung di sekolah di daerah Jawang. Aku menjumpai beberapa guru dan kepala sekolah disana. Setelah itu aku menyapa adik-adik dibawah pohon beringin yang cukup rindang dan mampu melindungiku dari terik matahari. Mereka menyanyikan lagu untukku. Suara mereka sangat merdu, mendayu-dayu bak ombak yang tanpa tekanan, mengalir begitu saja, lembut seperti angin yang sejuk menerpa gendang telinga. Heyeeh..ngomong opoooo. Intinya I love their voice.

Lalu kami melanjutkan kunjungan di Puskesmas di salah satu desa. Aku banyak berdialogue dengan teman-teman yang bertugas disana. Issue kekurangan gizi juga menjadi bahan  perbincangan kami.  Sehingga memang sangat diperlukan pemenuhan makanan tambahan agar nutrisi anak-anak menjadi meningkat. Selain itu, juga issue anak-anak yang sebagian besar belum mempunyai akte kelahiran. Inilah hal krusial yang sangat perlu segera diseleseikan. Bahwa sinergi dengan pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini sangatlah diperlukan yang  dibarengi dengan gencarnya sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya mempunyai akta kelahiran bagi anak.


“Nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan?”celetukku,karena aku benar-benar  bisa merasakan rasa panas yang luar biasa. Tanganku seperti merembes air. Basah seluruh badan oleh keringat. Panas tidak boleh menghalangiku untuk melangkah. Aku harus melanjutkan perjalanan ini.yah!


Setelah itu aku berkunjung ke beberapa tokoh adat yang sudah lama bekerja  sama dengan kami dan kebetulan aku juga sudah sempat bertemu beliau di Kebumen Jawa Tengah beberapa waktu yang lalu. “Hai Pak Stanis dan Pak Martin.”sapaku ke mereka. Eh..ternyata mereka juga mengenakan topi yang sama aku pakai lho, mungkin ini pertanda kami punya chemistri,aih...hehe  Lalu kami ngobrol ringan tentang program perpustakaan untuk anak-anak dan juga toilet disekolah.


Di Borong, issue kekeringan menjadi sangat  familiar dibicarakan. Bahkan masyarakat harus rela membeli air bersih dengan harga @35.000 per dirigen besar. Air bersih disekolah juga tidak tersedia, sehingga anak-anak harus membawa air bersih dari rumah mereka. Jadi jangan heran kalau mereka membawa satu dirigen ukuran sedang untuk ditenteng menuju ke sekolah. Awalnya aku berpikir bahwa mereka membawa air tersebut untuk bekal air minum mereka. Ternyata dugaanku salah, mereka membawa itu untuk keperluan dikamar mandi.

Berbicara  tentang toilet, sebagian sekolah di Borong juga belum mempunyai fasilitas toilet yang memadai. Terkadang ada  toilet, namun tidak layak atau jumlah yang terbatas. Sehingga jika ada anak yang ingin buang air besar atau kecil, mereka harus berlari di luar sekolah menuju ke semak-semak. “Bagaimana mereka mau terhindar dari kata Jangan BABS (Buang Air Besar Sembarangan)?” Miris!


Perjalanan hari ini sangat menyenangkan, waktu sudah menunjukkan jam 1 siang dan matahari tepat di tengah kepala. Kami memutuskan untuk istirahat makan siang di salah satu warung jawa. Walaa.. jauh-jauh ke Flores makannya ke Jawa lagi..hihi. Tidak lama kami makan, hujan deras tiba-tiba mengguyur kota Borong. Subhanalloh! “Ini hujan pertama disini” Ucap Kak Ken. Ahh..segar, setidaknya keringatku mulai tidak mengucur lagi.


Hari menjelang sore dan aku melanjutkan perjalanan ke Timur, namun bukan mencari kitab suci. Kami mencari anak-anak.yeii! Aku berjalan dengan Om Ronald dan Pieter. Akhirnya bertemulah kami dengan  dua anak yang sudah putus sekolah.Mereka kakak beradik. Rumah mereka kecil yang dihuni oleh 4 orang, yaitu Ayah, ibu dan dua orang anak. Sebenarnya ada yang lain, namun sekarang sedang merantau ke negeri seberang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Aku mengajak mereka bercanda, walaupun dalam hatiku terasa pedih. Mulai ku gali perasaan meraka. Sebenarnya mereka ingin sekali kembali ke sekolah, namun karena faktor biaya, akhirnya putus sekolah adalah jalan terbaik tanpa ada pilihan lain.  Hari ini aku tutup dengan pertemuan ke salah satu warga, sebut saja “Om Philip”. Keinginannya adalah usaha  ternak ayam. “Karena usaha ayam tidak terlalu membutuhkan air”Begitu tuturnya.

Hari Kelima, Jum’at 27 November 2015
Kehangatan di Borong juga sangat aku rasakan. Secara vocal suara memang cenderung lebih keras, tapi hati mereka sangatlah baik.  Aku juga merasakan suguhan kopi seperti di Manggarai Barat. Satu hal juga, Kopi hitamnya tidak bikin kembung lho.hehe. Ketika di jalan dan bertemu adik-adik, mereka melambaikan tangan dan melempar salam dengan sangat santun. Bahkan aku merasa “Mereka tidak mengenalku, tapi mereka mau menyapaku,  aku kan tidak artis? “gurauku.


Dihari keduaku di Borong City, aku manfaatkan untuk berkunjung ke sekolah lain yaitu didaerah Sok. Kebetulan kami ada program pelatihan penanggulangan resiko bencana. Kami mengajak anak-anak untuk belajar tentang bencana alam sembari bermain permainan ular tangga. Duh, semangat dan antusiasme mereka membuatku jatuh cinta kepada mereka berkali-kali.



Lalu aku juga sempat bertemu dengan bapak kepala desa yang sudah menjalin hubungan baik dengan kami.Beliau sangat ramah dan baik. Lagi-lagi aku disuguhi kopi panas, walaupun sedang terik begini, air mengepul yang disuguhkan..”es mana es?” batinku.haha.

Rumah di Kota Borong rata-rata terbuat dari kayu, beralaskan tanah, dan beratapkan seng. Ada beberapa yang sudah tembok, ada pula yang berumah panggung.Ketika hawa sedang terik langsung menerpa Seng, bisa kebayang kan panasnya? Walaupun ada angin yang menerobos celah-celah kayu, tetap tidak mampu menolong rasa panas ini. Jarang ditiap rumah yang memiliki kipas angin, apalagi AC. Bahkan bisa dikatakan rumah yang aku kunjungi belum pernah aku menjumpai Kipas Angin. Kedengarannya ini sepele, tapi mungkin ini sangat berarti untuk aku yang terbiasa menggantungkan hidup pada kipas angin atau AC ketika kepanasan. Bagaimana dengan Kulkas? “yo jelas nggak ada!”.

Allright!!..perjalanan outdoor ku selesai hari ini. Kemudian aku kembali ke Kantor dan berkemas untuk segera meninggalkan kota Borong. Terima Kasih Borong, terikmu memberikan banyak arti untukku. Aku banyak belajar tentang makna dari sebuah kerja sama dan penerimaan tentang nilai kehidupan. Bahkan aku jatuh cinta berkali-kali dengan anak-anak itu. Anak-anak yang harus rela mandi, minum, dan melakukan aktivitas lain bersama kerbau dikali. Anak-anak yang harus rela membawa bekal air di dirigen dengan berat yang tidak seimbang dengan berat tubuhnya. Dan anak-anak yang harus rela beratapkan ilalang beralaskan tanah ketika sedang mengenyam pendidikan di Sekolah. Sampai jumpa seluruh staff. See you at the Top!!



Dengan perasaan antah berantah, aku meninggalkan Kota Borong bersama Om Fandhel Via Mobil. Sepanjang jalan kuputar lagu “Terima Kasih kakak” yang dinyanyikan anak-anak Borong kepadaku. Hatiku leleh. Kami menuju Kota Ruteng dan aku akan menikmati weekend disana. Terus Om!

Baca juga kisah perjalananku selanjutnya di 
http://sejutaceritamuda.blogspot.co.id/2015/12/backpacker-ke-kampung-wae-rebo_49.html