Kamis, 24 Desember 2015

Aku Pun Jatuh Cinta Berkali-Kali Dengan Anak-Anak Di Borong

B. Kopi Panas di Manggarai Timur
Hari Keempat, Kamis 26 November 2015
           Hari ini aku bangun pagi, dan bersiap diri menuju kantor di Borong. Aku bermalam dirumah Kak Dedy, salah satu rekan kerjaku. Kak Dedy tinggal bersama satu anak perempuan bernama Della yang imut dan mulai suka bercerita, satu jagoan lelaki kecilnya yang masih belajar merangkak dan satu istri yang biasa aku panggil Mama Della. Mereka menerimaku dengan sangat baik. Aku juga sangat nyaman tinggal disini, karena kebetulan kami memeluk agama yang sama yang setidaknya membuatku merasa lebih leluasa untuk beribadah.

              Sarapan pagi dan secangkit teh hangat sudah Mama Della siapkan untukku. Segera ku santap mengingat akan banyak aktivitas seharian nanti. Disini aku tidak berani mengharapkan udara sejuk dan segar seperti di Ruteng maupun Golowelu. Jam 8 pagi terik matahari sudah mulai menusuk. Bedanya dengan dikotaku adalah, kalau di kota cuaca panas karena sudah berpolusi pabrik dan kendaraan bermotor, sedangkan disini panasnya asli, sumpah asli, beh!            

             Ku mulai masuk ke kantor dan menyapa teman-teman semua. Mari aku kenalkan. Ada Om Ronald, Ken, Peter, Hans, Herry, Dedy, Fandhel, Relis dan satu-satu staff perempuan Tante Voni. Oiya, masyarakat manggarai sering dipanggil “Om” untuk laki-laki dewasa dan “Tante” untuk perempuan dewasa. Ini berbeda dengan dikotaku yang lebih akrab disapa “Mas atau Mbak”.


                Pagi ini aku di ajak Kak Ken untuk berkeliling mengenali kota Borong. Dulu mungkin aku sering bertanya-tanya “Sepanas apa sih Borong?” dan sekarang aku merasakan sendiri. Aku tidak perlu mengenakan jaket, bahkan menggunakan baju saja sudah terasa gerah.”It’s really hot in and out side” haha.  Yang aku lihat adalah pepohonan yang gersang, tanah yang tandus dan rumput yang mulai mengering. Petak sawah tanpa padi dan sibuk ditempati oleh puluhan ekor sapi yang sedang merumput. Kehidupan di  Borong lebih modern. Sudah ada listrik, sinyal ponsel dan internet juga tersedia. Banyak warung yang menjajakan aneka ragam makanan, toko yang menyediakan kebutuhan serta ada pom bensin di tengah kota.


Hari pertamaku di kota Borong, kami berkunjung di sekolah di daerah Jawang. Aku menjumpai beberapa guru dan kepala sekolah disana. Setelah itu aku menyapa adik-adik dibawah pohon beringin yang cukup rindang dan mampu melindungiku dari terik matahari. Mereka menyanyikan lagu untukku. Suara mereka sangat merdu, mendayu-dayu bak ombak yang tanpa tekanan, mengalir begitu saja, lembut seperti angin yang sejuk menerpa gendang telinga. Heyeeh..ngomong opoooo. Intinya I love their voice.

Lalu kami melanjutkan kunjungan di Puskesmas di salah satu desa. Aku banyak berdialogue dengan teman-teman yang bertugas disana. Issue kekurangan gizi juga menjadi bahan  perbincangan kami.  Sehingga memang sangat diperlukan pemenuhan makanan tambahan agar nutrisi anak-anak menjadi meningkat. Selain itu, juga issue anak-anak yang sebagian besar belum mempunyai akte kelahiran. Inilah hal krusial yang sangat perlu segera diseleseikan. Bahwa sinergi dengan pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini sangatlah diperlukan yang  dibarengi dengan gencarnya sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya mempunyai akta kelahiran bagi anak.


“Nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan?”celetukku,karena aku benar-benar  bisa merasakan rasa panas yang luar biasa. Tanganku seperti merembes air. Basah seluruh badan oleh keringat. Panas tidak boleh menghalangiku untuk melangkah. Aku harus melanjutkan perjalanan ini.yah!


Setelah itu aku berkunjung ke beberapa tokoh adat yang sudah lama bekerja  sama dengan kami dan kebetulan aku juga sudah sempat bertemu beliau di Kebumen Jawa Tengah beberapa waktu yang lalu. “Hai Pak Stanis dan Pak Martin.”sapaku ke mereka. Eh..ternyata mereka juga mengenakan topi yang sama aku pakai lho, mungkin ini pertanda kami punya chemistri,aih...hehe  Lalu kami ngobrol ringan tentang program perpustakaan untuk anak-anak dan juga toilet disekolah.


Di Borong, issue kekeringan menjadi sangat  familiar dibicarakan. Bahkan masyarakat harus rela membeli air bersih dengan harga @35.000 per dirigen besar. Air bersih disekolah juga tidak tersedia, sehingga anak-anak harus membawa air bersih dari rumah mereka. Jadi jangan heran kalau mereka membawa satu dirigen ukuran sedang untuk ditenteng menuju ke sekolah. Awalnya aku berpikir bahwa mereka membawa air tersebut untuk bekal air minum mereka. Ternyata dugaanku salah, mereka membawa itu untuk keperluan dikamar mandi.

Berbicara  tentang toilet, sebagian sekolah di Borong juga belum mempunyai fasilitas toilet yang memadai. Terkadang ada  toilet, namun tidak layak atau jumlah yang terbatas. Sehingga jika ada anak yang ingin buang air besar atau kecil, mereka harus berlari di luar sekolah menuju ke semak-semak. “Bagaimana mereka mau terhindar dari kata Jangan BABS (Buang Air Besar Sembarangan)?” Miris!


Perjalanan hari ini sangat menyenangkan, waktu sudah menunjukkan jam 1 siang dan matahari tepat di tengah kepala. Kami memutuskan untuk istirahat makan siang di salah satu warung jawa. Walaa.. jauh-jauh ke Flores makannya ke Jawa lagi..hihi. Tidak lama kami makan, hujan deras tiba-tiba mengguyur kota Borong. Subhanalloh! “Ini hujan pertama disini” Ucap Kak Ken. Ahh..segar, setidaknya keringatku mulai tidak mengucur lagi.


Hari menjelang sore dan aku melanjutkan perjalanan ke Timur, namun bukan mencari kitab suci. Kami mencari anak-anak.yeii! Aku berjalan dengan Om Ronald dan Pieter. Akhirnya bertemulah kami dengan  dua anak yang sudah putus sekolah.Mereka kakak beradik. Rumah mereka kecil yang dihuni oleh 4 orang, yaitu Ayah, ibu dan dua orang anak. Sebenarnya ada yang lain, namun sekarang sedang merantau ke negeri seberang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Aku mengajak mereka bercanda, walaupun dalam hatiku terasa pedih. Mulai ku gali perasaan meraka. Sebenarnya mereka ingin sekali kembali ke sekolah, namun karena faktor biaya, akhirnya putus sekolah adalah jalan terbaik tanpa ada pilihan lain.  Hari ini aku tutup dengan pertemuan ke salah satu warga, sebut saja “Om Philip”. Keinginannya adalah usaha  ternak ayam. “Karena usaha ayam tidak terlalu membutuhkan air”Begitu tuturnya.

Hari Kelima, Jum’at 27 November 2015
Kehangatan di Borong juga sangat aku rasakan. Secara vocal suara memang cenderung lebih keras, tapi hati mereka sangatlah baik.  Aku juga merasakan suguhan kopi seperti di Manggarai Barat. Satu hal juga, Kopi hitamnya tidak bikin kembung lho.hehe. Ketika di jalan dan bertemu adik-adik, mereka melambaikan tangan dan melempar salam dengan sangat santun. Bahkan aku merasa “Mereka tidak mengenalku, tapi mereka mau menyapaku,  aku kan tidak artis? “gurauku.


Dihari keduaku di Borong City, aku manfaatkan untuk berkunjung ke sekolah lain yaitu didaerah Sok. Kebetulan kami ada program pelatihan penanggulangan resiko bencana. Kami mengajak anak-anak untuk belajar tentang bencana alam sembari bermain permainan ular tangga. Duh, semangat dan antusiasme mereka membuatku jatuh cinta kepada mereka berkali-kali.



Lalu aku juga sempat bertemu dengan bapak kepala desa yang sudah menjalin hubungan baik dengan kami.Beliau sangat ramah dan baik. Lagi-lagi aku disuguhi kopi panas, walaupun sedang terik begini, air mengepul yang disuguhkan..”es mana es?” batinku.haha.

Rumah di Kota Borong rata-rata terbuat dari kayu, beralaskan tanah, dan beratapkan seng. Ada beberapa yang sudah tembok, ada pula yang berumah panggung.Ketika hawa sedang terik langsung menerpa Seng, bisa kebayang kan panasnya? Walaupun ada angin yang menerobos celah-celah kayu, tetap tidak mampu menolong rasa panas ini. Jarang ditiap rumah yang memiliki kipas angin, apalagi AC. Bahkan bisa dikatakan rumah yang aku kunjungi belum pernah aku menjumpai Kipas Angin. Kedengarannya ini sepele, tapi mungkin ini sangat berarti untuk aku yang terbiasa menggantungkan hidup pada kipas angin atau AC ketika kepanasan. Bagaimana dengan Kulkas? “yo jelas nggak ada!”.

Allright!!..perjalanan outdoor ku selesai hari ini. Kemudian aku kembali ke Kantor dan berkemas untuk segera meninggalkan kota Borong. Terima Kasih Borong, terikmu memberikan banyak arti untukku. Aku banyak belajar tentang makna dari sebuah kerja sama dan penerimaan tentang nilai kehidupan. Bahkan aku jatuh cinta berkali-kali dengan anak-anak itu. Anak-anak yang harus rela mandi, minum, dan melakukan aktivitas lain bersama kerbau dikali. Anak-anak yang harus rela membawa bekal air di dirigen dengan berat yang tidak seimbang dengan berat tubuhnya. Dan anak-anak yang harus rela beratapkan ilalang beralaskan tanah ketika sedang mengenyam pendidikan di Sekolah. Sampai jumpa seluruh staff. See you at the Top!!



Dengan perasaan antah berantah, aku meninggalkan Kota Borong bersama Om Fandhel Via Mobil. Sepanjang jalan kuputar lagu “Terima Kasih kakak” yang dinyanyikan anak-anak Borong kepadaku. Hatiku leleh. Kami menuju Kota Ruteng dan aku akan menikmati weekend disana. Terus Om!

Baca juga kisah perjalananku selanjutnya di 
http://sejutaceritamuda.blogspot.co.id/2015/12/backpacker-ke-kampung-wae-rebo_49.html

0 komentar:

Posting Komentar