Hari Keenam, Sabtu 28
November 2015
Di Kota
Ruteng, aku menginap di rumah seorang teman, sebut saja “keluarga Om
Paul”. Aku tiba dirumah Om Paul jam 5
sore. Masih ingat kan dengan Om Paul? Beliau adalah teman kerja di Golowelu itu
lho.hehe. Tante Evi, istri Om Paul, menyambutku dengan penuh suka cita. Aku sangat diterima baik disana.
Mereka juga sudah menyiapkan tempat tidur untukku.
Cuaca di Ruteng sangatlah dingin. Untuk
memegang air saja, harus benar-benar memberanikan diri.hehe karena notabene aku
belum terbiasa dengan cuaca yang demikian. Om Paul dan sekeluarga benar-benar
memberikan kehangatan selama aku disana.
Dalam istilah mereka “Tamu adalah Raja”, mungkin inilah salah satu adat
istiadat yang sekarang sudah mulai ditinggalkan, namun tidak dikeluarga
mereka.Tamu benar-benar diberikan pelayanan yang terbaik. Bahkan aku harus rela
makan sebelum lapar.
Om Paul tinggal dengan 3 anak dan satu
istri. Mereka adalah Puput, Chili, Alvin dan Tante Evi. Aku tidak perlu lama
beradaptasi dengan mereka, karena mereka sangat welcome dan membuka diri dengan
tamu. Apalagi adik-adik yang sangat lucu. Si Puput yang sudah menginjak usia
puber dan suka dandan feminin, Si Chili yang rajin sekali membantu memasak dan
si kecil Alvin yang hobi sekali bermain kelereng.
Pagi ini dingin, jauh berbeda dengan
pengalamanku dua hari yang lalu selama di Borong. Aku benar-benar merasakan
cuaca yang sangat extreme. Dari yang
sangat panas menuju ke sangat dingin. Tubuh ini serasa sedikit protes dan
menunjukkan ketidakberesannya. Aku mulai merasa mual di pagi hari. Nafsu makan
juga menurun. Namun aku mencoba untuk tetap sehat dengan meneguk vitamin
mengingat aku harus menikmati liburan weekend ini dengan jalan-jalan. Kami
memutuskan, pagi ini berangkat ke Negeri
di atas awan atau biasa disebut Kampung
Wae Rebo.
(Kisah tentang aku dan
mimpi yang hampir tak tergapai)
Wae Rebo adalah kampung adat Manggarai yang
masih tetap dihuni dan masih berpegang teguh pada adat istiadat.
Masyarakat tinggal di “Mbaru Niang,”
sebutan untuk rumah adat yang beratap ijuk kerucut dengan diameter sekitar 11-15 meter yang bisa dihuni hingga 6-7
buah keluarga.Uniknya adalah dapur dan tungku mereka berada ditengah-tengah rumah. Sehingga rumah terasa
hangat dan sangat kekeluargaan mengingat cuaca yang begitu dingin.
Perjalanan menuju kesini sangatlah
panjang dan jauh dari kata mudah. Selain itu biayanya juga tergolong cukup
mahal dengan perjuangan yang ektra. Oke, aku akan menceritakan perjalananku ini
mulai dari Kota Ruteng.
Dari Kota Ruteng, kami berangkat
ber-empat. Mereka adalah Om Paul, Tante Evi dan Kak Fandry. Kami boncengan dua-dua
via motor. Tidak banyak yang aku siapkan. Aku membawa sebungkus snack, minuman
di botol, Jas hujan dari plastik dan payung. Aku hanya berfikir, kalau hujan
setidaknya aman, karena jaket yang aku kenakan berbahan waterproof .
Jam 09:00 pagi kami meninggalkan rumah
Om Paul yang tentunya setelah sarapan. Sebenarnya tidak ada satupun dari kami
yang pernah ke Wae Rebo. Kami hanya pernah sedikit mendengar bahwa menuju ke
Wae Rebo butuh jalan kaki sekitar 4 jam. Sungguh! Kami sangat minim informasi.
Hanya modal nekad dan bertanya sepanjang perjalanan.
Sebelum tancap gas terlalu jauh, kami
tidak lupa mampir ke Pom Bensin dan membeli beberapa snack untuk bekal selama
perjalanan. Sekitar kurang dari Jam 10 pagi, kami sudah siap untuk meluncur.
Target kami adalah untuk mencapai daerah Dintor, yaitu desa terakhir yang bisa
dilalui motor menuju Wae Rebo.
Perjalanan dari Ruteng menuju Dintor
sebenarnya bisa menggunakan transportasi umum. Bentuknya seperti truck yang
mengangkut pasir yang diberikan kursi berjajar
ditengahnya dengan harga yang terjangkau tentunya.
Duhai indahnya perjalanan kami hari ini.
Kami melewati gunung, lembah hingga pesisir pantai. 3 jam lebih tidak terasa
kami lalui. Hijaunya sawah berlukiskan sarang laba-laba dengan susunan
teraseringnya, turunan serta tikungan tajam yang elok, Suara serangga yang melolong, Sejuknya udara tanpa
polusi dan pantai yang lengkap dengan deru ombaknya. Hampir saja aku ingin
berhenti terus berfoto sebentar. Tapi kuurungkan niatku karena perjalanan kami
masih panjang. Apalagi pepohonan kemiri yang rindang dengan warna daun hijau dengan semburat putih menambah keindahan siang ini.
Tepat jam 13:15 sampailah kami di
Dintor. Kami langsung standart kan motor dalam kondisi dikunci. Disana kami
melihat sedang ada perbaikan dan pengaspalan jalan. Bapak-bapak melihat kami
dan melempar senyum ramah seolah berkata “Selamat menempuh Wae Rebo”. Di titik inilah kami juga bertemu dengan
serombongan anak muda dari Ruteng yang sudah bermalam di daerah Dintor yang
ditemani oleh guide.
Lokasi Wae Rebo berada di lembah
diantara pegunungan, hanya bisa ditempuh melalui jalan kaki selama 4 jam
dengan medan bervariasi mulai dari jalanan berbatu, jalan terjal gunung
yang menanjak dan terakhir melewati sungai dengan jembatan bambu.
Yups, langkah pertama aku mulai. Jalan
naik berbatu mulai kami daki. Langkah demi langkah coba aku tempuh. Karena ini
siang hari, aku mulai terasa kepanasan. Kubuka jaket tebalku berharap nafasku
menjadi lebih longgar. Namun baru selang sekitar 15 menit, aku sudah merasakan
tersengal-sengal dan pusing luar biasa. Aku mencoba untuk duduk dan mengatur
nafas. Lalu aku jalan kembali dengan bantuan tongkat di tangan. Dan itu tampak
berbeda melihat Om Paul dan Tante Evi. Mereka tampak gesit dan lincah
melangkahkan kaki. Bagaimana dengan Kak Fandry? Sedari tadi dia sibuk menatapku
dengan rasa prihatin.

Rasa gengsiku pun membuncah. Masak aku
yang lebih muda saja kalah? Aku putuskan untuk terus melangkah dengan tongkat
saktiku. Lagi dan lagi aku terkapar lemah. Aku pusing luar biasa. Dunia terasa
berputar. Sudah lama aku tidak merasakan hal demikian. Dulu aku pernah
merasakan begini yang diikuti dengan pingsan. Serius, aku hampir pingsan. Aku
akhirnya asal duduk dibebatuan. Yang terpenting adalah aku tidak mau
memaksakan diri. Kak Fandry terus
menyemangatiku untuk melanjutkan perjalanan ini. Aku hanya mampu bilang “Ijinkan aku istirahat, karena aku tahu
batas kemampuan tubuhku” Jawabku lemah.
“Mukamu Biru” Kata Kak Fandry. Ku tatap mukaku di
pantulan kamera. Ah..memang benar.. aku tampak pucat. Mulai kuingat-ingat,
tenyata tadi pagi aku memang kurang sarapan dan terbuang karena muntah. Ini
adalah kesalahanku yang pertama. Tracking dalam kondisi perut kosong.
Ku buka tas ku lalu ku keluarkan snack
coklat yang ku bawa, mulai ku makan untuk doppingan tenaga. Setidaknya perutku
harus terisi. Hap..hap kulanjutkan perjalanan lagi. Bertemulah kami dengan Om
dan Tante yang sudah lebih dulu jalan. Mereka menertawai aku karena jalan
menggunakan tongkat. “Awas ya Om, Tante
.”Jawabku kecut.haha. Setelah itu aku meminta air penambah tenaga yang
tante punya.
Aku meminta ke Om dan Tante untuk jalan
lebih dulu, karena aku tidak mau mereka hanya menunggu jalanku yang seperti
siput ini. Apalagi sedari tadi mereka kepikiran dengan motor yang kami
parkirkan di sembarang tempat tanpa dititipkan ke siapapun, walaupun sebenarnya
kami yakin bahwa disini lingkungannya aman, tidak akan ada pencurian motor
(red: curanmor).
Kak Fandry dengan berbaik hati membawakan
jaket tebalku. Aku berusaha terus
berjalan dengan sesekali bertanya “Berapa
lama lagi?” “Ah..sebentar juga sampai” Jawab Kak Fandry enteng. Aku juga sempat bertanya dengan seorang lelaki yang sedang mengerjakan proyek jalan,
beliau menjawab sekitar 2 kilo lagi. Arghh.. benar-benar kalimat surga untuk
menyemangat saja, padahal kami tahu kalau jawaban itu bohong belaka.
Aku benar-benar kehilangan akal untuk
bertahan di jalan berbatu ini. Selain berat, sakit juga dikaki. Namun setelah 2 jam kami
berjalan, bertemulah kami dengan aliran sungai yang cukup deras. Kubasuh muka
dan kakiku lalu kuminum air beberapa teguk untuk mengembalikan tenagaku
yang hilang. Kulihat Om, Tante dan
rombongan remaja tadi sedang asyik berfoto bersama. Aku langsung ikut bergabung
untuk berfoto dengan muka yang sudah kusut. Kami berfoto di depan papan yang
bertuliskan “ Kampung Wae Rebo” .Yei!
akhirnya separuh perjalanan kami lalui.

Disini aku juga
bertemu dengan rombongan anak-anak dari Kampung Wae Rebo. Om Paul bercerita
bahwa anak-anak itu bersekolah dibawah mulai dari senin sampai sabtu. Sejak
kelas satu SD mereka diwajibkan hidup mandiri, karena mereka harus
mempersiapkan keperluan sekolahnya sendiri dan terpisah dari orang tua. Mereka
menginap di rumah singgah di Kombo, sebuah kampung pemekaran dari Waerebo. Setiap
libur sekolah atau hari sabtu siang
mereka pulang ke rumah orang tuanya di Waerebo yang tentunya dengan berjalan
kaki selama 3 jam terlebih dahulu seperti yang aku lakukan sekarang. Wow!
Tante Evi suka
sekali berdialogue dengan mereka. Lalu dibagilah snack yang beliau bawa dari
Ruteng. Namun, karena tante terlalu baik, dibagilah semua makanannya, sampai
lupa untuk dirinya sendiri. Hihi
Setelah puas
berfoto, kami melanjutkan perjalanan lagi. Jalan yang akan kami lalui adalah
jalan naik tanah diantar tebing dan jurang. Aku liat adek-adek yang mengenakan
tas sekolah dan membawa barang dikepala mereka. Sepertinya berisi sembako atau kebutuhan untuk hidup
mereka selama di kampung. Aku malu sekali melihat kaki mungil mereka yang
begitu kuat dan tangguh untuk jalan yang sejauh ini. Awalnya mereka menemaniku
berjalan. Lambat laun mereka meninggalkanku karena aku terlalu banyak berhenti
untuk istirahat.
Langkah awal
dari air mengalir tadi adalah sekitar 4500 m lagi. Ku lihat tanda itu
dalam-dalam. Apa aku bisa melalui ini? Perasaan ragu sudah mengalir deras
didarahku. Inilah kesalahanku yang kedua. Aku tidak meyakini apa yang sedang
aku kerjakan. Dan itu membuat kemampuanku jadi semakin melemah.
Baru beberapa
meter saja aku sudah melambaikan tangan pertanda tidak mampu. Aku ingin, tapi
kakiku berat sekali digerakkan. Om Paul dan Tante Evi tertawa cengengesan
melihatku. “Duh.. nenek-nenek ini yang
biasa ceria mana?”celotehnya.
Ku kerahkan
seluruh kekuatanku, namun tak kuat lagi. Segera kubanting tubuhku ditanah. Ada
perasaan menyesal. “Kenapa aku memaksakan
diri? Apa lebih baik turun?”keluhku
“Ayo lanjut, sudah jauh langkah kita, Wae Rebo sudah dekat” Tutur Kak Fandry. Aku menggeleng tidak percaya. Aku pun menitikkan air mata.
Butuh waktu
untuk berdamai dengan perasaanku sendiri. Aku tarik nafas dalam-dalam. Kak Fandry juga mengajarkanku untuk menggunakan pernafasan perut agar lebih kuat.
Satu hal yang aku sadari. Tanda dijalan yang kami jumpai hanyalah kata-kata
surga. 100 meter disini tidak sedekat
jika aku mengukur sendiri dengan ukuran asli sekalipun. Bisa jadi 100
meter disini sebenarnya adalah 500 meter. Nahh
looh.. Namun aku harus tetap kuat.
Sampailah kami
di titik 3.250 meter lagi. Aku sudah sangat lemah. Aku menangis bombay. Aku
benar-benar menyerah. Aku menyatakan ketidak-sanggupanku untuk melanjutkan
perjalanan. Walaupun hatiku berteriak ingin, tapi apa daya. “Aku nggak sanggup kak” Rintihku ke Kak Fandry. Aku yakin, Kak Fandry iba melihatku. Dia kali ini lebih banyak diam.
Banyak orang lokal Wae Rebo yang berlalu lalang. Namun aku tidak menggubris,
aku lelah level dewa.
Kak Fandry tidak
pernah bosan menyemangatiku. Bahkan dia tidak pernah mau aku tawarin minuman
dari dalam tasku “Tidak usah, nanti
minummu habis” Ungkapnya. Ooh.. so sweet, dia sangat menghawatirkanku. Akhirnya
aku lepas sepatu berharap langkahku lebih ringan dan aku lanjut lagi dengan
terus merangkak naik. Kakiku telanjang!.
Memang
sebenarnya, kita seharusnya bermalam dulu di Dintor sebelum tracking ke
Kampung Wae Rebo. Agar tenaga kita bisa
penuh. Sedangkan tenaga kami, sudah habis selama perjalanan dari Ruteng,
sehingga stamina tinggal yang tersisa. Selain itu, jenis sepatu yang aku
gunakan juga kurang tepat. Aku memakai sepatu olahraga dengan sol yang kurang
menggigit tanah.

Finally, Sampailah
kami di titik 3000 m lagi. Ini adalah titik puncak menuju Wae Rebo. Disana Om
Paul dan Tante Evi sudah menungguku. Dengan suara parau Om paul menjelaskan “Kita tidak bisa melanjutkan perjalanan ini
Rosi!” ungkapnya. “Tapi demi apa?”protesku.
Om Paul menjelaskan, Kampung waerebo sekarang membuat aturan baru, bagi
siapapun yang berkunjung harus membayar Rp. 200 ribu rupiah per kepala dan Rp.
325 ribu bagi yang menginap. “Darimana Om
tahu, diinternet nggak ada info tentang
itu lho!” jawabku mengelak. Om Paul menjelaskan lagi bahwa dia tahu dari
gerombolan anak muda dan guide yang bersimpangan dengan kami tadi. Sedangkan Om
Paul hanya ada Rp. 200 ribu di dompetnya. Lalu kulihatlah dompetku. Hanya
tersisa Rp. 270 ribu rupiah saja. Oh
God! Kami butuh Rp.800 ribu rupiah.

Kami berdiskusi
panjang tentang ini. Ada rasa sebal karena informasi ini kami tidak tahu
sebelumnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 15:30. “Silahkan kalian lanjutkan perjalanan nona, aku dan om pulang karena
anak-anak juga sudah menunggu di rumah,
bahaya juga untuk om kalau harus turun terlalu malam, mata om tidak bisa
melihat jelas kalau malam hari” Tutur Tante Evi kepadaku. “Ya sudah, aku ikut saja baiknya gimana”
Jawabku tenang. “Kita harus naik, nanti
aku coba tawar.” Kak Fandry Menguatkan.
Tiba-tiba hujan
turun dengan deras sekali. Aku segera kenakan jaket ajaibku yang anti air itu.
Ku keluarkan jas hujan plastik, kuberikan ke tante. Ku buka payungku, dan
tertiup angin sampai rusak tidak bisa digunakan. Hujan kali ini benar-benar
dahsyat. Tidak ada tempat berlindung. Hanya ada tebing curam yang kapan saja
bisa longsor.
Lalu tiba-tiba
Kak Fandry berteriak. “Awas! Air bah!”. Sontak
hal ini membuat kami semakin panik. Air berwarna coklat beserta sampah dedaunan
kering mengalir deras di jalan setapak yang kami daki ini. Deras sekali. Ini
kali pertama aku melihat banjir di gunung. Aku hanya bisa pasrah sembari
tersenyum “Terima Kasih Tuhan, apapun
yang Engkau beri, aku terima” Ucapku tulus. Badan kami basah.
Tidak lama
kemudian, hujan mulai merintik pelan. Kakiku sempat kram, tapi akhirnya sembuh.
Aku sempatkan berfoto di tebing ini. Aku nikmati karena aku sudah cukup senang
bisa sejauh ini melangkah. Iya, tujuh kilo aku berhasil tracking. Kami memutuskan untuk turun dengan perasaanku
yang sedikit penasaran dengan apa yang dikatakan tentang pembayaran tadi. Kak Fandry membalikkan badannya ke arahku dan bilang dengan tajam “Kalau kamu punya keinginan lanjut, kamu
harus tegas! Aku hanya mampu menatapnya nanar.
Belum lama aku
melangkah turun, ada local person Wae Rebo yang melintas. Tanpa basa basi aku
tanyakan terkait pembayaran itu. Aku langsung berterus terang dengan jumlah uang yang aku punya. Kak Fandry benar-benar berperan disini. Dia langsung menegosiasikan dengan bahasa
manggarai yang aku tidak mengerti. Tapi sedikit yang aku tangkap adalah dia
bilang bahwa aku sudah nangis lima kali sebelum mencapai puncak ini. Yaelahh.. aku kan malu kang mas...hemmm.
Yes!! Berhasil.
Orang lokal tersebut bilang “Iya..nanti
aku bantu menawarkan” tuturnya. Bagaimana dengan Om Paul dan Tante? Mereka
sudah terlanjur jauh. Aku sama sekali tidak bisa berkirim pesan untuknya. Tidak
ada sinyal ponsel. Aku hanya berteriak keras “Om, Tante, Ma’af kami lanjut!” Sembari aku berkirim pesan lewat
suara hatiku dalam-dalam. “Semoga beliau
mendengar” Peluhku.
Perjalanan kami
kurang 3 km lagi. Entah ada kekuatan darimana, tiba-tiba tenagaku kembali
pulih. Ada semangat yang hadir disetiap aliran darahku. Perjalanan terasa lebih
mudah. 1 jam sudah aku lewati dengan bertelanjang kaki. Rasa nyeri karena
berbenturan dengan kerikil-kerikil kecil dijalan setapak ini. Tak jarang juga
duri-duri dari pepohonan yang menancap bebas dikakiku.
Aku tidak pernah
mengeluh lagi. Yang aku bayangkan adalah aku harus segera sampai untuk segera
turun, karena aku tidak mau Om dan tante terlalu khawatir kepadaku. Aku juga
tidak mau membebani Kak Fandry berlarut-larut. Dia sudah sangat membantuku sejak
awal tracking tadi.
Tibalah kami di
tanda kurang 800 m lagi. “Oh My God!
Bentar lagi sampai” Teriakku girang dalam hati. Kak Fandry menatapku dengan
rasa gembira. Kami tersenyum bersama-sama dengan perasaan konyol. Belum lama
kami melangkah, ada tanda lagi bertuliskan 1600 m lagi. Ya elah..jadi yang tadi angka satu nya ilang? Jleb!
Perjuangan kami
semakin dekat. Dari Kejauhan kami melihat rumah kerucut Mbaru Niang Wae Rebo.
Akhirnya sampailah kami di jembatan anyaman bambu untuk menyebrangi sungai.
Wangi bunga kopi juga menyambut kami. Harum sekali! Aku belum pernah mencium
bunga kopi sewangi ini. Bahkan aku sempat mengira bau bunga melati.
Tak lama
kemudian, tibalah kami di rumah panggung untuk penyelesaian administrasi. Ku
keluarkan uang Rp.270 ribu untuk biaya masuk dan Rp.30 ribu dari Kak Fandry untuk diberikan ke Tokoh Adat sebagai ungkapan penyambutan.
“Hello Kampung
Wae Rebo!” Aku berlarian kegirangan
seperti anak kecil. Segera kami masuk ke rumah Ketua Adat sebagai bentuk
perijinan. Kami dibacakan do’a yang aku tidak mengerti bahasanya. Disinilah aku
bisa melihat fakta bahwa masyarakat Wae Rebo masih sangat menjunjung tinggi roh
dan nilai leluhurnya.
Kemudian kami
masuk salah satu rumah mereka, sebut saja “Pak Konrad”. Rame sekali di dalam
rumahnya. Ada sekat seperti kamar. Jadi benar memang kalau satu rumah bisa
dihuni 6-7 keluarga. Mereka sedang sibuk masak ditungku di tengah rumah.
Anak-anak sedang bermain. Disitu aku juga melihat ada kasur dan bantal yang
sudah disiapkan jika ada tamu yang menginap. Oiya, anjing juga ikut masuk rumah.hihi
Seorang mama
menawarkan minuman kopi, aku meminta teh saja,hehe. Lalu mereka memberikan kue serabi hangat yang
cukup besar dan tebal. Kue tersebut dipotong menjadi beberapa bagian seperti
Pizza yang sedang mengepul. Sepotong saja sangat cukup mengganjal perut kami
yang kosong. Segera kuteguk teh panas agar tubuhku menjadi hangat.
Sebelum kami
pulang, mereka memberiku kue serabi ukuran besar sebanyak 2 buah. “Untuk bekal dijalan, supaya tidak
kelaparan” tuturnya. ‘Terima kasih
Mama, baik sekali” Ucapku. Tidak berlama-lama kami memutuskan untuk segera
pulang agar tidak terlalu gelap.. Kami sempatkan foto beberapa kali dan
berkenalan bersama teman-teman muda yang sudah lebih awal sampai.
Kak Fandry menantangku “Dua jam sampai bawah ya.
Bisa!” “Oke Kak, aku usahakan” ujarku mantap. Aku kenakan sepatuku kembali
karena jalan turun lebih bahaya jika aku tidak mengenakan apapun. Hari mulai
gelap pertanda aku harus semakin cepat melangkah. Lalu, bagaimana dengan Om
Paul? Di sepanjang jalan, aku bertemu dengan beberapa orang menuju Wae Rebo,
beliau menitipkan salam dari Om Paul. Kami semakin cepat melangkah, karena ada
yang menunggu kami. Ku nyalakan senter sebagai penerang jalan. Untung saja aku bawa senter, duh!
Sesekali aku
check ponsel berharap menemukan sinyal. Namun ketika aku menemukan sinyal,
tidak satupun pesanku sampai. Langkah yang terbaik adalah mempercepat langkah
kaki kami.
Sekitar jam 7
malam, sampailah kami di titik air mengalir, kami segera bersihkan badan dan
mengambil air untuk minum. Sungguh keren, satu jam lebih dikit kami bisa mencapai titik
ini. Sekarang waktunya menempuh jalan
berbatu yang siap didepan mata.
Malam itu sepi
sekali, langit begitu hitam yang dipenuhi dengan bintang bertaburan. Dengan
tenaga yang tersisa aku coba lewati bebatuan
licin yang sempat terkena hujan. Berat sekali, karena mengandung lumpur yang
memenuhi sepatuku. Beberapa kali badanku terasa terhuyung.Kami bergandengan tangan
saling menguatkan satu sama lain. Ketika genggamanku melemah, Kak Fandry menarikku seolah menguatkan dan begitupun sebaliknya.
Tepat jam 20:15
sampailah kami di tempat kami parkir motor. Beberapa anak muda sedang asyik
berkumpul dan menunggui motor kami. Aku kira ada Om Paul dan Tante disana,
ternyata mereka sudah jalan duluan. Syukurlah!. Ternyata benar, mereka
menantiku sampai pukul 7 malam dengan perasaan penuh cemas. Terlebih tante,
beliau sangat memikirikanku takut aku pingsan atau jatuh ke jurang.hehe
Segera kuhubungi
mereka melalui ponsel, Ku jelaskan kondisi kami yang baik-baik saja dan jangan
khawatirkan kami. Sekarang waktunya Kak Fandry yang berjuang lebih berat, karena kami harus menempuh perjalanan via
motor sekitar 3-5 jam perjalanan. Let’s
go!
Setelah minum
air yang tersisa, kami segera mengayuh motor menuju kota Ruteng. Kami melihat
ada bulan dengan bulatan penuh didepan kami. Aku bilang “Ayo Kak, Kita kejar bulan itu.” Diapun menjawab dengan santai“Siap,
Tuan Putri” Guyonnya . Ini adalah perjalanan yang paling berat. Hawa
dingin sepanjang perjalanan segera kami jumpai.
Satu jam sudah
kami lewati, aku meminta ke Kak Fandry untuk berhenti mencari air minum.
Beruntunglah kami menjumpai toko sembako. Dengan uang Rp.5.000 ku yang
terakhir, aku beli air minum dengan Merk “Ruteng”. Kami juga sempat makan kue serabi
yang diberikan mama Wae Rebo tadi. Sembari aku memohon ijin kepada pemilik toko
untuk rebahan punggungku sebentar yang sudah tidak ada rasanya.
Kami melanjutkan
perjalanan lagi. Jalanan yang siang tadi tampak indah, kini beruba semuanya serba gelap. Bahkan aku tidak mampu melihat pohon kemiri yang siang tadi terlihat berjajar rapi seolah menyambut kedatangan kami. Sedikitpun kami tidak mau berlama-lama menikmati itu semua. Setelah melewati pesisir pantai, masuk hutan dan jalanan yang
berkelok tajam, kami memutuskan untuk beristirahat di jalan. Iya, benar-benar
ditengah jalan. Kami langsung tidur
merebahkan badan tanpa khawatir ada kendaraan yang lewat. Kami bercengkrama dan
tertawa perih bersama sembari melihat bintang dan bulan untuk menghibur diri
yang sudah terlampau lelah. Dia bertanya padaku untuk sebutkan satu kata untuk
perjalanan ini. “Crazy!” jawabku
tanpa berpikir panjang.
Kak Fandry kali
ini di tuntut untuk menjadi lelaki super kuat bukan hanya super man. Pertama Kami dua-duanya tidak tahu arah jalan pulang karena
semuanya serba gelap, Kedua Hawa dingin langsung menerpa
tubuhnya yang masih basah kuyup dengan bercelana pendek, Ketiga aku tidak bisa menggantikan bawa motor laki itu.
Disinilah moment
dimana aku harus bergantian menguatkannya. “Kita
pasti mampu melewati ini” Bisikku. Tepat jam 12 malam sekarang, kurang
lebih satu jam lagi kami akan sampai di Kota Ruteng. Kami sempat kesasar satu
kali karena sama sekali tidak ada penunjuk jalan. Hawa sangat dingin. Seperti di freezer kulkas. Serius! Tubuh ini rasanya bergetar tanpa diminta.
Aku hanya khawatir kami kena hipotermia.
Berat sekali rasanya. Terlebih lagi Kak Fandry, dia berjuang sekuat tenaga untuk
melawan rasa dingin dengan menggingit rokok dimulutnya.
Segera
kulilitkan syall yang aku punya dilehernya, berharap sedikit menolongnya dari
rasa dingin. Aku sama sekali tidak mau mengeluh, karena itu hanya akan membuat
perjalanan ini semakin terasa berat. Aku masih beruntung karena badanku tidak
basah, jadi tidak terlalu menggingil. Dan posisi dudukku dibelakang juga
menguntungkan untukku yang secara tidak langsung terkena angin malam.
Akhirnya Kak Fandry mencoba melihat kanan kiri untuk mencari kardus bekas. Tidak lama kami menemukan toko yang masih buka dan kami meminta kardus secara gratis. Lalu
dibakarlah kardus tersebut agar sedikit menghangatkan badan. Aku lebih memilih
berlarian kecil, karena dengan begitu tubuhku juga terasa lebih hangat.
Tanda lalu
lintas menuju ke Ruteng akhirnya kami temui setelah hampir 5 jam kami dimotor.
Sebentar lagi kami sampai. Dan kuhembuskan nafas lega setelah kami tiba di
gapura selamat datang ke Kota Ruteng. Tepat jam 1 malam, kami tiba dirumah Om
Paul. We did it guy! Big Thanks. Aku
pun memeluknya erat.
Dalam perjalanan
yang amazing ini aku belajar banyak
hal. Ini bukan hanya tentang aku di Wae Rebo tapi tentang hidup, nilai juang
dan pantang menyerah. Ceritaku ini akan berbeda jika aku memutuskan turun ketika
di puncak minus 3 km. Tapi dengan semangat dan keyakinan pasti bisa, aku bisa
mencapai Wae Rebo yang dulu hanya di angan-anganku semata.
Itulah alasanku
mengapa aku memberikan judul ceritaku ini dengan “Kisah tentang aku dan
mimpi yang hampir tak tergapai”. Karena ketika aku melanjutkan perjalanan minus
3 km itu rasanya lebih mudah. Bukan hanya karena semangatku yang pulih, tapi
karena memang medannya lebih datar dan mudah untuk ditapaki. Disini aku
menyebutkan “Wae Rebo” sebagai sebuah goal
atau mimpi. Sedangkan perjalananku adalah sebuah usaha menuju mimpi. Terkadang
kita harus menangis dan hampir menyerah untuk meraihnya padahal tanpa kita
sadari mimpi itu sudah dekat. Banyak orang memutuskan untuk benar-benar
menyerah dengan keadaan tanpa tahu bahwa apa yang diinginkan itu udah dekat
didepan mata.
Aku juga salut
dengan Om Paul dan Tante. Mereka sangatlah hebat. Kuangkat topiku setinggi-tingginya.
Walaupun mereka tidak sampai Wae Rebo, namun mereka sudah berhasil mencapai
puncak minus 3km. Tidak semua orang diusia beliau mampu tracking sejauh itu
tanpa mengeluh kan?. Dan keputusnnya untuk turun, adalah keputusan yang paling
bijak.
Kak Fandry. Aku speechless dengannya. Aku berhutang
banyak yang tidak akan pernah mampu aku bayar. Dia sudah menyelamatkan aku dari
rasa tidak yakin, tidak mampu dan tidak semangat. Dia mengajarkanku untuk terus
menggapai mimpi dengan langkah yang tegas. Aku bisa bilang, Kak Fandry disini
adalah sebagai partner. Dalam meraih
mimpi, kita juga harus mempunyai partner yang tepat. Bisa bayangkan kan? Andaikan
waktu itu dia mengiyakan aku untuk turun
dan menyerah. Maka tidak akan pernah ada kisahku berkunjung di Wae Rebo.
Aku juga
berterima kasih dengan masyarakat Wae Rebo, walaupun tidak sampai satu jam aku disana,
aku sangat merasakan kehangatan dalam sebuah keluarga.