Senin, 31 Juli 2017

Tentang Bintang Yang Akan Segera Bersinar, Terang



Malam ini kurebahkan badanku di rerumputan beralaskan banner yang sudah beralih fungsi menjadi tempat duduk. Iya, aku sedang memanjakan imajiku disalah satu tempat ngopi dipinggir jalan dibelakang Teras Kota. Sudah lama sebenernya aku ingin ketempat ini. Sering kulirik-lirik tempat ini ketika pulang kerja. Dan akhirnya aku berhasil menikmati tempat ini dengan penuh khitmad.

Sekitar jam 7 malam aku dan temanku, panggil aja Ko Heru, berdua ke tempat ini. Kami pilih tempat yang sedikit remang-remang,hehe karena aku berencana ingin rebahan. Soalnya ku merasa sedikit sakit punggung akhir-akhir ini. Tapi sore tadi sempet ku kasih koyo cabe sih di punggung,haha #nggak penting

Ku pesanlah kopi good day mocacino for a good mood. Lalu mas penjualnya tanya “mau yang dingin atau pana mbak?” emmm... i said “dingin lebih seru kayaknya, dingin aja mas” gitu jawabnya sembari membayangkan sensasi es yang akan mampu mendinginkan pikirannku. Sedangkan ko Heru pesan kopi panas item yang aku lupa mereknya.

Aku pun mulai merebahkan diri, literaly tiduran di alas. Oh my God! I love it, aku bener-bener bisa ngelihat pemandangan malam hari dihamparan tanah yang luas ini. Kulihat langit gelap yang tertutup oleh awan. Tak ada bintang memang, namun somehow it’s really peaceful.

Aku dan Heru suka banget bercakap-cakap kesana-kemari. Kami saling bertukar cerita. Saling kasih feedback. Kami nyambung memang mah kalau ngobrol.hehe kami pun menghindari topik-topik yang berat, supaya rileks memang. Dengan melakukan ini, aku benar-benar ngerasa kayak go away from daily routine gitu. Yeaiii

Sesekali pengamen mengganggu kenyamananku. Tapi aku abaikan mereka, karena ini “me” time. No one can distrub me. Sedikit terasa pelit sih, tapi... aku lagi nggak mau membagi uang recehku ke mereka. Aku nggak mau siapapun menggangguku disebuah moment dimana aku dengan bebas melihat langit yang sedemikian luas dan udara yang sejuknya luar biasa.

Ku pandangi langit dengan seksama. “Mana kau  para bintang? Hei.. kamu dimana?” Aku pun mulai protes. Aku mulai mempertanyakan keberadaannya. “Please tampakkan dirimu, Tembuslah awan-awan itu, ku mohon. “ aku mulai merintih. Sekarang, aku mulai memaksa mereka untuk bersinar sekuat tenaga mereka agar mampu menembus batas-batas yang kelam. Demikian pun diriku. Sekarang.

Iya, hari ini adalah hari terakhir dibulan juli. Tidak terasa aku dah menginjakkan kakiku dibumi jakarta hampir sebulan. Aku jadi mulai  memikirkan secara lebih sederhana. “apakah yang kulakukan ini sudah tepat?” , tapi sungguh aku memikirkan ini dengan penuh kedamaian. Aku refleksi kembali tentang perjalananku selama 3 mingguan ini. Banyak perjalanan yang sudah kulakukan kesana kemari untuk membuka satu pintu kepintu yang lain. Aku ikut acara satu dan yang lainnya.
“Apakah aku bahagia”? dan aku pun menjawabnya, “Iya..aku sangat bahagia, melebihi apa yang aku kira”. Aku bertemu dengan orang-orang yang sangat positif dan berdedikasi tinggi.  Aku menghela nafas dalam-dalam. Aku sangat bersyukur.

Ku sruput kopiku disetiap waktu. Kunikmati moment-moment kopi dingin masuk ke kerongkonganku yang mampu mendinginkan otakku. Dan disaat itu lah, bintang-bintang mulai tampak malu-malu. Bermunculan satu-persatu, timbul lalu tenggelam. Tenggelam lalu muncul kembali. Sampai akhirnya mereka benar-benar bersinar, demikian pun diriku.

Diriku adalah tentang memulai sesuatu. Tidak mudah memang memulai semuanya. Namun aku yakin, aku akan bisa bersinar terang secerah bintang itu dengan menerobos segala ketidak-mungkinan menjadi mungkin, kegelapan menjadi terang dan suasana kelam menjadi benderang. 

Amin.
31 Juli 2017



Sabtu, 15 Juli 2017

Yakin, sudah mandiri?

via travel.kini.co.id



Tiba-tiba aku bertanya tentang makna kemandirian pada diriku sendiri. Apa benar aku sudah mandiri? Sudahkan aku benar-benar bisa berdiri di atas kakiku sendiri? Atau jangan-jangan aku hanya terlihat mandiri? Tapi kan selama ini aku sudah mampu membiayai hidupku sendiri. Tapi kan aku juga masih sering minta support dari keluarga terdekat dalam beberapa hal. Argh, Aku serius memikirkan tentang hal ini.

Awal mulanya adalah disuatu malam, aku dan teman-teman sedang hang-out di salah satu cafe di Jogja. Kami ber-empat, termasuk aku. Iya, dua laki dua perempuan. Tapi serius, kami bukan duo date alias bukan berpacaran. Anyway, lupakan..tempat ngopinya seru lho, ada rooftop nya gitu, jadi kita bisa ngobrol sembari ngitungin pesawat terbang yang sedang lewat.haha Aku nggak nyangka, di usia yang udah lebih dari 25 tahun ini masih suka ngelihatin pesawat lewat, terus sembari main tebak-tebakan, ini maskapainya apa hayo? Sungguh, menarik.

Kami pun mengobrol dengan asyiknya. Ngalor-ngidul. Pindah satu topic ke topic yang lain, bully-bullian. Nggosipin yang satu terus yang lain, eh nggak nding.hehe intinya kami ngobrol banyak hal lah. Mulai dari obrolan yang serius sampai obrolan yang nggak penting sedunia  -_- . Tapi kami bahagia,,tralalala!!

Tanpa ku sadari, aku berucap “Aku kok sering ngerasa homesick ya, bawaannya pengen pulang terus pas lagi merantau.” Dan tak kuduga dan tak ku sangka, temen temin ku mulai berargumen dan bilang yang intinya, aku nggak boleh seperti itu terus-terusan. “Kamu harus mandiri mbak,” gitu katanya.

“Tapi wajar kan? Kita rindu orang tua? Kan kita harus mengabdi ke orang Tua ketika mereka sudah menua seperti sekarang?”. Di sanggahlah aku, “Iya bener boleh rindu, tapi masalahnya, kamu juga masa depan, kalau kamu sering pulang, kamu akan terus-terusan bergantung sama mereka.” Hah.

Lalu, satu temanku lagi bilang. “Kalau kamu terus homesick, Kamu nggak akan naik level, kamu akan terus diposisi yang lemah, dalam artian kamu akan bergantung sama mereka kalau sedang ada masalah, karena sejatinya, orang tua itu pengen lihat anaknya mandiri.” Serius, aku berpikir keras.
Masih belum selesai diskusinya, ditambah lagi temanku bilang. “ karena begini lho kak, kamu akan melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan. Misalnya nih, kamu ada tawaran kerja didaerah yang sangat jauh dari sini, kamu pasti akan mikirin gimana ya mereka dirumah, gimana ya kalau aku pulang jarang-jarang.” Hemmm..bener juga sih, pikirku.

Diskusi semakin menarik, pemirsa. Ternyata makna mandiri diantara teman teminku aja udah berbeda. Namun ini harus menjadi instropeksi diriku memang. Ya nggak lucu juga sih kalau dikit-dikit pulang. Selain boros biaya, juga nggak bisa selamanya aku bergantung ke keluarga.

Lalu mereka juga mengkomentari sikapku selama dua bulan ini yang stay dirumah. “kalaupun kamu nggak kerja, seharusnya kamu nggak bersama keluargamu, dengan begitu, kamu akan bekerja lebih keras gimana cara supaya kamu bisa makan dan bertahan hidup.” Tuing-tuing, jleb moment reekk!

Sekedar flash back ya..Bulan desember lalu aku memutuskan resign dari pekerjaan, nah,, sebelumnya aku udah diskusi dengan keluarga, Aku bilang, aku akan nggak kerja dulu dalam tempo yang tidak bisa ditentukan, karena aku mau ambil kursus. Jadi aku nggk bisa ikut iuran untuk kebutuhan rumah, namun aku akan menggunakan tabunganku untuk kebutuhan pribadiku. Dan mereka setuju.

Tapi ternyata eh ternyata, aku kena musibah kecopetan. Alhasil uang yang udah aku alokasikan untuk bertahan beberapa bulan kedepan pun lenyap. Yah.. mau nggk mau aku di support sama keluarga. Dan mereka pun fine-fine aja memberikannya.

Namun yang disampaikan temenku ada benarnya juga. Kalau aku kepepet pasti kan aku akan berjuang lebih keras supaya gimana caranya aku bisa hidup kan. Huh hah. Namun kan mereka juga nggak paham, kalau aku sengaja nggak kerja dan just wanna stay at home for two months itu karena aku belum pernah melakukan hal tersebut sebelumnya, aku jarang dirumah dan aku sangat ingin kumpul dengan mereka dalam waktu yang agak lama.

Dia juga bilang, "gimana nanti kalau kamu udah berkeluarga? kan kamu akan tinggal sama suami kan? Kalau kamu kurang beras apa minta ibumu? Kalau ada masalah apa akan ke ibumu? Nggak kan? karena nanti pasti suamimu akan merasa nggak dihargai, selain itu, kamu akan terus-terusan melibatkan keluargamu dalam pengambilan keputusan dirumah tanggamu." baiklah-baiklah.. Pembicaraan ini semakin panjang dan jadi ngap.haha karena nggak segitunya juga sih maksudnya.haha

Karena obrolan ini lah, teman-temin ku mulai menceritakan kisah pribadi dikeluarga mereka, uh so sweet. Aku jadi semakin mengenal mereka dengan lebih baik. Aku juga jadi banyak belajar dari mereka.

Ini memang menjadi perdebatan, debat positif ya, sama temanku ini, karena dia kan dari negara maju, jadi ketika sudah beranjak dewasa, keluar dari rumah adalah hal yang biasa. Mereka mencari pekerjaan sebaik mungkin agar benar-benar bisa punya tempat tinggal sendiri dan hidup jauh dari keluarga. Mereka pun bisa dikatakan nggak pernah menjenguk orang tuanya. Dan bisa jadi, mereka nggak rindu-rindu amat sama keluarganya. Yah..namanya juga budayanya juga udah beda.

Aku kemudian berpikir, kan nggak mungkin juga aku pergi dari rumah begitu aja, Kalau mau mah udah dari dulu melakukan itu.  Bagaimanapun juga menjenguk orang tua juga hal penting kan, apalagi kalau dikaitin dengan agama, pahalanya kan melimpah. Namun memang pesan temanku untuk keep fighting whatever happens harus bener-bener diterapkan, pulang rumah boleh, tapi jangan terlalu melow dan drama.haha

Jadi nih ya,setelah diskusi itu, aku jadi semakin mantap gitu untuk merantau lagi, Iyah, aku merantau ke Jakarta,yeiii!!! Dan aku berjanji untuk jarang pulang. Ya setahun dua kali boleh lah ya. Tapi tetep kontak keluarga dengan baik. Tanya kabar dan video call sekedar memastikan mereka masih mengingat wajahku ketika pulang nanti,haha

Selamat merantau untuk diriku! Jadikanlah tempat rantauku sebagai rumah keduaku,agar aku terus merasa dirumah!! J


Pamulang,Sabtu, 15 Juli 2017

Jumat, 14 Juli 2017

Tentang memulai di bulan Juli.


Via shiftindonesia.com

Ada satu petuah yang baru aku baca, tapi aku lupa entah aku bacanya dimana. “Karena memikirkannya jauh lebih sulit dibandingkan melakukannya”. Mungkin terdengar sepele, namun bagiku ini sangat menampar. Aku jadi semacam berefleksi dan berinstropeksi diri. Apakah selama ini aku hanya terlalu banyak berfikir? Ide-ide ku hanya ada dibenak saja. Ku akui, aku memang sering pusing dan stress sendiri. Ternyata karena aku hanya banyak berpikir, saja. Huh!

Belajar dari kesalahan lama, akhirnya aku bertekad untuk sesegera mungkin mengejar passion. Ciiaattt pasang iket kepala. Aku harus bergerak. Cukupkan malas. Yakin pasti ada jalan. Dadaku bergemuruh dengan semangat yang menggelora.

Dan ternyata benar, ada saja jalan. Disuatu ketika di bulan desember 2016, aku dipertemukan dengan seorang teman perempuan. Sebut saja namanya “Temmy”. Perempuan yang berhati putih seperti kapas, perempuan bertenaga kuat seperti baja, Perempuan yang penuh belas asih dan memberikan damai siapapun yang disekitarnya. Dan mulai saat itu, kami menjadi bukan sekedar teman, kami bak keluarga baru yang saling berbagi dan mengisi. Aku bersyukur. Kalau kak temmy baca ini, jangan lupa gopek ya ckckck.

Pertemanan kami terus bertumbuh. Kami banyak berdiskusi sekedar sharing mimpi dan nilai-nilai kehidupan. Tsaaahhh! Sampai disuatu ketika aku bilang, “kak, aku pengen banget aku bisa jadi founder  organisasi.” Dia seperti biasa, mendengarkanku dengan response positif.

Lalu, tiba-tiba, sekitar sebulan setelah aku menyampaikan keinginanku, tanpa ada angin dan tanpa ada hujan, kak Temmy bilang ke aku, “yuk kita bikin foundation bareng”. Wew... aku merasa diingatkan kembali tentang mimpi yang sebenarnya cukup takut aku pikirkan. Karena aku merasa masih butuh banyak belajar dan meneguhkan hati. Namun, ku pikir, kalau nggak sekarang, kapan lagi aku mulai?

Seiring kita mengobrol, niat kami berdua ingin membentuk organisasi semakin teguh. Dia mempercayakan sepenuhnya ke aku terkait konsep organisasinya, sedang dia akan berperan di funding agar biaya operasional organisasi bisa terpenuhi dengan lancar. Nahh tuh.. kurang apa coba, Nikmat mana yang kamu dustakan? Aku semakin yakin bahwa semua pertemuan tidak ada yang kebetulan.

Di bulan juni, mulai kurancang bentuk organisasinya. Aku banyak membaca jurnal dan buku. Aku juga mulai mencari tahu bagaimana organisasi lain bergerak. Aku sangat antusias untuk memulai semua ini. Iya, memulai hal baik.

Kemudian, Aku harus ke jakarta untuk bertemu dengan Kak Temmy, kami butuh bertatap muka dan berbagi energi. di bulan juli tanggal 10, aku terbang ke Jakarta bersama maskapai yang hobi bacain pantun..haha apa hayo...yupps Citilink. Alhamdulillah, aku sampai dengan selamat dan penuh semangat. Lama sekali rasanya aku nggak bertemu kak temmy, semacam ada rindu-rindunya gitu. Sesampainya dirumahnya, kami berpelukan sangat hangat dan kami tumpahkan segala hal yang berkalung dikalbu yang sudah bertumpah ruah.

Nggak mau menunda waktu, ku segera menghubungi teman baikku yang dulu sempat diorganisasi yang lama. Sebut saja “bang Nando”. Kami sempat saling berkirim kabar sebelum aku ke Jakarta. Dia udah ku tawarin untuk bareng-bareng membangun organisasi. Dan dia berminat. Yeii!!!
Kami membuat janji untuk ketemuan, dan finally! We did it! We met near by Palmerah station at 08.00 pm. Ternyata ada bakso babat yang enak lho disana. Padahal kan biasanya makanan yang deket statiun gitu nggak jelas semua rasanya.haha jadi pengen nambah lagi sih, semangkuk rasanya kayak nggak cukup gitu. Eh, kok jadi bahas bakso ya. Tuing-tuing. Jadi begini, kami bertiga (aku, kak temmy dan bang Nando) finally bisa makan bareng, eh maksudnya diskusi bareng. Kami mulai saling berbagi value dan harapan. Walaupun kami berdiskusi sekitar 1.5 jam, tapi lumayan banget buat mengenal satu sama lain.

Harapanku, ini akan menjadi awalan yang baik. Untuk mensegerakan niat baik. Iya, niat baik telah kami mulai dibulan Juli ini. Amin J

Palmerah, Kamis 06 Juli 2017.