Siang ini begitu terik. Pasir-pasir
mulai terasa panas ditelapak kaki. Kulit terbakar sinar matahari. Kemilau putih
tumpukan garam yang sudah siap jual mulai menyilaukan mata. Desir ombak pun
menggulung dengan beratnya seolah menolak
menguap dilangit. Terlihat beberapa anak kecil bermain air ditepian pantai,
mencari kerang-kerang atau bahkan bermain istana pasir yang selalu dihantam
ombak dengan meriahnya. Tidak tampak satupun nelayan yang sibuk merajut
jala-jala siang ini. Semua tatapan mereka tertuju pada rumahku.
Bendera-bendera kuning mulai
menghiasi halaman rumah dan sepanjang jalan menuju rumahku. Tampak ibu-ibu mulai berbondong-bondong
membawa beras dan segala bentuk sumbangan yang ditempatkan suatu wadah semacam
baskom. Tenda-tenda mulai didirikan secara gotong royong. Keluarga jauhku pun
mulai sibuk berdatangan sekadar ikut berbela sungkawa. Suasana haru mulai pecah
semenjak ayahku benar-benar dinyatakan meninggal oleh petugas puskesmas
terdekat jam 10 pagi tadi.
Lihatlah ibuku meronta-ronta dan
menangis tiada henti. Digoyang-goyangkan tubuh ayahku, seolah meminta nyawanya
kembali dan berharap matanya kembali terbuka dan tersenyum bahagia. Takada
satupun yang bisa menenangkan teriakan ibukku yang memekakkan telinga. Guratan
mata penuh pilu tampak begitu jelas di muka ibuku yang menangis tiada henti
sejak malam lalu. Bak film india yang biasa kami tonton bersama, ibukku
memandangi muka ayahku yang pucat
pasi dengan penuh seksama dan membelai
lembut dengan mesranya. Mulai saat itu, aku baru sadar ternyata sedemikian
besar cinta ibukku terhadap ayahku.
Sedangkan aku, hanya mampu berdiri
didaun pintu tanpa tahu ekpresi apa yang harus kumunculkan dimukaku.
Menyaksikan tubuh ayahku yang sudah terbujur kaku dan bisu. Ditambah adegan
dramatis ibukku yang tidak satupun mampu menolong dan beberapa kerabat yang
entah benar-benar sedih atau sekadar pura-pura kehilangan. Fenomena mengharukan
yang belum pernah aku saksikan sebelumnya.
Aku adalah anak
perempuan tunggal dari orang tuaku. Sebenarnya dulu aku hampir punya adik. Tapi
ternyata ibukku memilih menggugurkan kandungan diusia 2 minggu tanpa ada satupun
tetangga yang tahu. Ibuku bilang akan celaka jika siapapun
tahu, katanya. Ibuku juga bilang bahwa bayi dalam kandungannya menderita penyakit yang tidak
akan sembuh dan akan membuka aib keluarga. Aku hanya miris pura-pura paham apa
yang dijelaskan. Semenjak saat itu, aku sering melihat ibu datang ke dukun
untuk dipijat perut nya. Dan akhirnya, kandungan itu benar-benar luruh. Masih
tanda tanya besar dalam benakku. Sebenarnya apa yang terjadi? Hingga akhirnya
aku benar-benar tahu apa yang terjadi.
Setiap hari aku dilatih untuk
bekerja keras membantu orang tuaku dipasar pelelangan ikan, sebutlah TPI (tempat
pelelangan ikan), yaitu pasar ikan terbesar di Kotaku. Tidak ada yang mampu
menandingi kualitas ikan dipasar ini. Setiap dini hari para nelayan pulang
melaut dengan membawa ikan-ikan segar. Aroma amis dan darah ikan yang segar
sangat menarik para pembeli. Tawar menawar harga terdengar disana-sini. Ayah
ibuku tentu tidak kalah sibuk. Ayahku yang baru turun dari kapal segera diserbu
oleh para pengepul ikan. Ibuku dengan antusias membatu proses transaksi tawar
menawar itu dan mengambil beberapa drum ikan untuk dijual harga eceran.
Kombinasi kerja yang unik ini dilakoni mulai dari mereka terikat bahtera
pernikahan. Namun, kebahagiaan ini mulai terenggut sepuluh tahun terakhir,
hingga akhirnya ayahku benar-benar terbujur kaku didepanku.
Issue tentang ayahku yang sakit
keras dan meninggal sudah tersebar diseluruh penjuru kampungku. Do'a surah
yasiin mulai digemakan oleh para pelayat. Aku hanyut dalam lamunanku
sendiri.Terdengar bisik-bisik para pelayat didekatku. Ada beberapa orang yang
menanyakan kenapa ayahku meninggal. Sakit apa yang dideritanya bertahun-tahun.
Dan kenapa ada beberapa tetangga yang tidak bersedia memandikan jenazah ayahku.
Issue berkembang siang ini, yang lebih parahnya lagi, ada yang mengatakan bahwa
ayahku sakit karena guna-guna dan akan celaka bagi yang memandikannya. Hal ini
sontak membuatku kupingku panas, tak kuasa menahan haru. Jantungku berdetak
lebih kencang tak tentu. Pikiranku pecah. Lalu, aku memutuskan menerobos para
pelayat. Aku berlari menuju pantai.
Berkecamuk rasanya. Aku teriak
sekuat-kuatnya tanpa memperdulikan orang disampingku. Tubuhku terjerembah jatuh
ke pasir. Aku menangis dalam tawaku. Derai air mata tak mampu ku elakkan lagi.
Mengucur deras di pipi kanan dan kiriku. Hening, angin semilir, ombak pecah
meneriakiku. Ku pandangi pantai garam siang ini. Pantai garam yang selalu
diagung-agungkan dengan kekayaan alam yang melimpah. Tapi apa itu benar? Aku
berteriak protes dengan gundukan garam-garam
yang kusalahkan. Dari pantai inilah kisah tragis ayahku terukir. Aku terbenam
dalam tangisku. Aku tertawa dalam kegilaanku. Aku puas, melihat ayahku tidak
akan pernah menderita lagi.
Ayahku sakit selama 10 tahun
terakhir. Berbagai macam penyakit dideritanya. Nenekku bilang, ayahku sakit
karena diguna-guna. Mulai saat itu, ibuku selalu mengajakku untuk mengobatkan
ayahku ke dukun yang terhebat didesaku. Dengan membawa satu bungkus rokok, 1 kg
Gula, kopi dan roti untuk membayar jasa dukun, ibuku mendapatkan obat berupa
daun-daunan yang harus direbus untuk diminum ayahku. Tapi sayangnya, ayahku
masih belum bisa sembuh. Beralihlah ibuku ke dukun satu sampai ke dukun yang
sangat jauh sekalipun, hingga begitu seterusnya. Banyak ritual yang sudah
dilakukan ayahku. Mulai dari berendam ke pantai selama dua jam di pantai tiap
malam jum'at, mandi bunga tujuh rupa, menusukkan jarum ke tubuhnya, disembur
air dari mulut dukun, menaruh sesajen di perempatan jalan, makan nasi berlauk
garam. Dan masih banyak ritual yang mengerikan lainnya. Kegilaan ini, masih
belum membuat ayahku sembuh. Semakin hari ayahku tampak pucat menahan sakit,
badan semakin kurus dan tatapan mata kosong seolah sudah tidak mampu
menjalankan ritual yang menyiksa.
Tiap hari ayahku berkeringat dingin,
menahan sakit kepala, diare, sulit bernafas dan kulit kering. Ayahku sudah
tidak mampu melakukan aktivitas apapun Kurawat ayahku tanpa ku mengerti jenis
penyakitnya. Ku basuh tubuhnya dengan air hangat sebelum dan sesudah berangkat
sekolah. Ritual demi ritual dilakukan oleh ayahku setiap hari. Didesaku memang
belum percaya dengan dokter. Karena pernah suatu ketika ada seorang anak yang
sedang demam diperiksakan ke dokter, tapi meninggal dunia setelah sampai rumah.
Banyak yang mengatakan bahwa dokter adalah pembohong, demikian ibukku
bercerita. Meskipun saya belum paham, tapi ada yang ganjil dibenakku.
Berita tentang ayahku yang sakit
keras terdengar sampai ke telinga pamanku. Pagi-pagi buta, tiba-tiba pamanku
yang kerja di salah satu perusahaan di Jakarta itu sudah ada didepan pintu
rumahku. Pamanku tampak lebih tampan dari sebelumnya sekitar 5 tahun yang lalu.
Ibu dan pamanku saling berpelukan. Pamanku juga mendatangiku dan mengacak-acak
rambutku dengan penuh senyuman hangat. Setelah itu, pamanku mendatangi ayahku
dan menatapnya dengan miris. Dielusnya kening ayahku dengan lembut, disentuh
kedua tangan ayahku serasa menguatkan untuk hidup lebih lama.
Dan
ibuku hanya berdiri didekat pamanku dengan berderai air mata.
Kedatangan pamanku ternyata
memberikan energy baru untuk keluargaku. Dengan penuh hati-hati pamanku
menyarankan untuk merawat ayahku dirumah sakit. Setelah perdebatan yang
panjang, akhirnya ibuku pun menyetujuinya. Sore itu, ayahku langsung dibawa
kerumah sakit dikota. Setelah menyelesaikan urusan administrasi, ayahku
dibaringkan dikamar rumah sakit. Kata pamanku, kita harus menunggu hasil
laboratorium.
Keesokan harinya, hasil laboratorium
pun keluar. Pamanku terlihat sangat kaget melihat hasilnya. Tertulis kata “AIDS”
dilembaran kertas itu. Setelah berdikusi dengan dokter, pamanku mencoba
menjelaskan jenis penyakit ayahku ke aku dan ibuku. Dan ayahku dirujuk oleh
dokter untuk dirawat di rumah sakit di provinsi dengan fasilitas yang lebih
lengkap. Tanpa panjang lebar, pamanku langsung mengiyakan rujukan itu.
Suatu malam, kudengar bisik-bisik
percakapan antara ibu dan pamanku. Ibuku dengan tangis yang tidak tertolong
belum bisa menerima fakta bahwa ayahku menderita AIDS karena selingkuh dengan
beberapa wanita. Pamanku pun menyarankan ibuku untuk memeriksakan diri, karena
khawatir ikut tertular virus yang mengerikan itu. Kucoba pahami kata demi kata
yang dikeluarkan dari mulut pamanku. Aku terbenam dalam kesedihan yang sangat
dalam. Memoriku tentang malam-malam sebelumnya seolah-olah kuputar ulang dalam
otakku.
Masih ku ingat, malam itu. Ketika aku masih berusia 10
tahun. Ku lihat ayahku keluar rumah ketika ibu sedang merawat nenek yang sedang
sakit di desa seberang. Karena aku penasaran, ku buntuti ayahku sampai ujung
gang. Yang kulihat adalah ayahku sedang menggoda seorang wanita yang tidak
kukenal. Kejadian serupa ternyata terjadi setiap malam. Gemetar seluruh tubuhku
dan berusaha menyimpan rahasia besar ini dari ibuku.
Begitulah kebiasaan kumpulan para
nelayan dikampung kami. Setelah pulang melaut, mereka berkumpul bersama untuk
bermain judi, minum minuman keras bahkan sampai menghabiskan malam mereka
dengan bermain cinta dengan perempuan
lain. Dan sekarang aku baru tahu, itulah yang membuat
ayahku menderita seperti ini. Dan penyakit ayahku, bukanlah penyakit kutukan.
Setelah lebih dari dua bulan ayahku dirawat dirumah
sakit, pamanku memutuskan untuk membawa ayahku dirawat dirumah, karena biaya
rumah sakit yang sudah tidak mampu ditanggung lagi. Ayahku sekarat dimasa
tuanya. Dan ibuku, positif terinfeksi virus HIV, karena ayahku.
---“---
Deru ombak menggeliat dengan kerasnya, menghatam
bebatuan dipinggir pantai. Ku buka mataku. Kulihat terik matahari siang ini.
Kulangkahkan kakiku dengan gontai. Ku remas pasir panas dengan jari-jari
kakiku. Tawaku semakin tidak tertahan. Aku gila di pahitnya pantai Garam.