Kamis, 19 Maret 2015

Seperti Hati Yang Tak Lagi Bertuan

Dewi merangkak pelan menuju kaca yang usang. Sudah lama ia tidak menyentuhnya. Rambutnya dibiarkan terurai tanpa ada riasan yang dulu biasanya ia sematkan. Wajahnya pucat polos dengan semburat sendu yang terlihat jelas dikedua kantung matanya. Dibersihkannya kaca usang  dengan sisa tisu yang sudah mengering oleh tangisan air dari pelupuk mata. Betapa  terkejutnya ia. Hampir ia tidak mengenali dirinya sendiri. Bagian tubuhnya terasa  kering. Di elus pipinya, matanya, bibirnya sendiri seolah meraba kejadian demi kejadian yang membuatnya merasa perih. Hitam pekat. Mana mukanya dulu yang merona dan penuh ceria? Tanyanya sendiri dalam hati sembari mengingat kejadian kala itu.
Dewi adalah sosok gadis periang yang suka segala sesuatu yang bernuansa humor.  Ia suka bereletuk lucu ketika sedang berkumpul dengan teman-temannya. Ia juga sering menuangkan ide-ide segar dan kreatif. Ia selalu menjadi sosok yang dirindukan kehadirannya oleh siapapun yang mengenalnya.
Hidupnya tiba-tiba berubah drastis semenjak ia mulai mengenal lelaki , sebut saja Joo.  Joo adalah pria tampan, religious dan pintar dengan segudang prestasi dibidang akademik. Ia  jatuh hati dengan pria yang baru dikenalnya itu. Joo tidak butuh waktu lama untuk menakhlukkan hatinya.
Dewi dan Joo pertama kali bertemu di salah satu acara remaja dipusat kota. Waktu itu, Dewi berkesempatan untuk presentasi didepan forum. Ia menyampaikan dengan gaya yang berbeda sehinga sempat membuat peserta tertawa dengan banyolan yang dilontarkannya. Sebagai peserta, Joo memperhatikannya dengan seksama. Sepertinya Joo langsung terkesima dengan gadis ini. Seusai presentasi, Dewi langsung kembali duduk dibangkunya dan mendapati sosok lelaki yang tersenyum manis di ujung kursi dibarisannya. Dewi pun membalasnya dengan senyuman yang menyungging dari bibirnya. Semuanya hadir begitu saja. Tanpa bah bih buh, Joo mengajaknya berkenalan dengan sederhana  setelah acara selesai.
Pertemuan kedua kembali terjadi disalah satu forum diskusi tanpa sengaja. Kala itu, mereka berkesempatan tergabung dalam satu kelompok yang sama. Mereka saling bertukar fikiran, pendapat serta gagasan. Tanpa bosan, mereka saling melempar senyuman. Sampai akhirnya, Joo pun menyampaikan maksudnya untuk mengunjungi Dewi diluar forum.
Suatu hari, mereka bertemu setelah saling janjian sebelumnya. Inilah masa  dimana mereka benar-benar saling berkenalan. Dewi dengan riangnya menceritakan apapun yang ditanyakan oleh Joo, begitupula Joo yang menceritakan tentang kehidupannya.  Mereka  menghabiskan hari itu bersama-sama.  Obrolan mengalir tanpa henti seolah mereka hanyut dalam cerita tanpa sadar bahwa waktu sudah larut malam. Mereka berpisah dengan membuat janji untuk pertemuan selanjutnya.
Pertemuan selanjutnya pun terjadi. Joo mulai bercerita tentang hobinya dalam dunia seni terutama dunia pewayangan. Ia bercerita kalau ia pernah membuat pementasan yang spektakuler. Spontan hal ini membuat Dewi terperangah. Bagaimana tidak? Dewi adalah pecinta seni. Dia juga sering melakonkan berbagai peran diberbagai pementasan. Dengan seksama ia mendengarkan cerita yang dilantunkan oleh Joo. Ia terbius dengan alur pengalaman Joo. Dengan gaya yang santai nan humoris, Joo bercerita sampai berbusa-busa. Gelak tawa serta canda tak dapat dielakkan ketika Joo mengajak dewi membaca dialog dan memainkan sepenggal peran. Bak rama dan sinta yang sedang merangkai kisah bersama. Mulai saat itu, mulailah timbul rasa yang aneh dalam hati Dewi. Entah apa ini namanya, apakah hanya sebatas kagum, suka atau  cinta? Sungguh pergolakan batin yang susah dibedakan.
Malam-malam Dewi terasa lebih panjang dari  biasanya. Sindrom insomnia sempat menerpanya karena sosok Joo yang selalu hadir lamunannya. Ia sering senyum-senyum sendiri mengingat banyolan-banyolan yang dibuat oleh Joo. Ia  lihat mukanya sendiri di kaca kamarnya. Merah merekah seperti buah yang ranum yang siap untuk disadap. Disisirnya rambut dengan perlahan agar tampil manis dengan sedikit manja. Bagaimana dengan Joo? Ia juga tak sabar menanti hari esok.
Gejolak rasa yang tak mampu dibendung lagi, tanpa undangan pun Joo sudah berdiri didepan rumah Dewi. Dengan menggegam tangan sangat erat Dewi, Joo mengajaknya untuk sekedar bersepeda menikmati indahnya senja disore hari.  Mereka duduk menghadap ke anak sungai ditepian sawah yang hijau bak permadani. Mengobrol tentang alam yang dilihatnya sore itu. Indah nian awan diatas sana. Begitu biru dan berjajar membentang harmonis dilangit. Joo mulai memandang Dewi dengan tangan yang dibiarkan memegang pipi Dewi. Dewi pun menyadarinya. Segumpal perasaan yang tidak ia mengerti terasa pecah dan mengalir panas ditubuh mereka berdua. Lalu, kedua bibir mereka saling bertemu.
“Tidak!!” Teriak Dewi secara histeris mengingat kejadian itu sembari menerkam kepalanya sendiri dan mendapatinya masih termenung didepan kaca usang yang dibelainya sedari tadi. Teriakan dramatis yang membangunkan dedaunan kering yang sibuk jatuh diteras rumah dari pohon beringin yang usianya tidak muda lagi. Lagi-lagi ia merintih, tertawa, kemudian mengeram. Dengan suara yang semakin lirih.
Sebenarnya, ia tidak pernah menyesalinya. Sepenggal kisah bersama lelaki itu cukup memberikan makna baginya. Walaupun sementara. Hanya saja ia tak rela kenapa ini terjadi. Ia merasa seharusnya ia tidak perlu mengenalnya. Tidak perlu ada pertemuan-pertemuan itu. Buat apa ada janji yang menguap. Semuanya terasa singkat dan fana. Lantas, berpisah begitu saja. Hanya punggung Joo yang akan ia ingat ketika lari meninggalkannya tanpa kabar berita.
Mulai dikerahkan seluruh energi dalam kepalan tangannya yang sudah mulai dingin. Diraihnya sisir untuk menata rambutnya dengan pelan. Dihembuskannya nafas panjang bernada tegar. Kini ia berjanji hatinya dianggapnya tidak bertuan. Karena tuannya tidak akan pernah paham. 

By : Gadis pemburu Pelangi
pic : mankovic16.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar