Dewi merangkak pelan menuju kaca yang usang. Sudah
lama ia tidak menyentuhnya. Rambutnya dibiarkan terurai tanpa ada riasan yang
dulu biasanya ia sematkan. Wajahnya pucat polos dengan semburat sendu yang
terlihat jelas dikedua kantung matanya. Dibersihkannya kaca usang dengan sisa tisu yang sudah mengering oleh tangisan
air dari pelupuk mata. Betapa
terkejutnya ia. Hampir ia tidak mengenali dirinya sendiri. Bagian
tubuhnya terasa kering. Di elus pipinya,
matanya, bibirnya sendiri seolah meraba kejadian demi kejadian yang membuatnya
merasa perih. Hitam pekat. Mana mukanya dulu yang merona dan penuh ceria? Tanyanya
sendiri dalam hati sembari mengingat kejadian kala itu.
Dewi adalah sosok gadis periang yang suka segala
sesuatu yang bernuansa humor. Ia suka
bereletuk lucu ketika sedang berkumpul dengan teman-temannya. Ia juga sering
menuangkan ide-ide segar dan kreatif. Ia selalu menjadi sosok yang dirindukan
kehadirannya oleh siapapun yang mengenalnya.
Hidupnya tiba-tiba berubah drastis semenjak ia
mulai mengenal lelaki , sebut saja Joo.
Joo adalah pria tampan, religious dan pintar dengan segudang prestasi
dibidang akademik. Ia jatuh hati dengan
pria yang baru dikenalnya itu. Joo tidak butuh waktu lama untuk menakhlukkan
hatinya.
Dewi dan Joo pertama kali bertemu di salah satu
acara remaja dipusat kota. Waktu itu, Dewi berkesempatan untuk presentasi
didepan forum. Ia menyampaikan dengan gaya yang berbeda sehinga sempat membuat
peserta tertawa dengan banyolan yang dilontarkannya. Sebagai peserta, Joo
memperhatikannya dengan seksama. Sepertinya Joo langsung terkesima dengan gadis
ini. Seusai presentasi, Dewi langsung kembali duduk dibangkunya dan mendapati
sosok lelaki yang tersenyum manis di ujung kursi dibarisannya. Dewi pun
membalasnya dengan senyuman yang menyungging dari bibirnya. Semuanya hadir
begitu saja. Tanpa bah bih buh, Joo mengajaknya berkenalan dengan sederhana setelah acara selesai.
Pertemuan kedua kembali terjadi disalah satu forum
diskusi tanpa sengaja. Kala itu, mereka berkesempatan tergabung dalam satu
kelompok yang sama. Mereka saling bertukar fikiran, pendapat serta gagasan.
Tanpa bosan, mereka saling melempar senyuman. Sampai akhirnya, Joo pun
menyampaikan maksudnya untuk mengunjungi Dewi diluar forum.
Suatu hari, mereka bertemu setelah saling janjian
sebelumnya. Inilah masa dimana mereka
benar-benar saling berkenalan. Dewi dengan riangnya menceritakan apapun yang
ditanyakan oleh Joo, begitupula Joo yang menceritakan tentang
kehidupannya. Mereka menghabiskan hari itu bersama-sama. Obrolan mengalir tanpa henti seolah mereka
hanyut dalam cerita tanpa sadar bahwa waktu sudah larut malam. Mereka berpisah
dengan membuat janji untuk pertemuan selanjutnya.
Pertemuan selanjutnya pun terjadi. Joo mulai
bercerita tentang hobinya dalam dunia seni terutama dunia pewayangan. Ia
bercerita kalau ia pernah membuat pementasan yang spektakuler. Spontan hal ini
membuat Dewi terperangah. Bagaimana tidak? Dewi adalah pecinta seni. Dia juga
sering melakonkan berbagai peran diberbagai pementasan. Dengan seksama ia
mendengarkan cerita yang dilantunkan oleh Joo. Ia terbius dengan alur pengalaman
Joo. Dengan gaya yang santai nan humoris, Joo bercerita sampai berbusa-busa.
Gelak tawa serta canda tak dapat dielakkan ketika Joo mengajak dewi membaca
dialog dan memainkan sepenggal peran. Bak rama dan sinta yang sedang merangkai
kisah bersama. Mulai saat itu, mulailah timbul rasa yang aneh dalam hati Dewi.
Entah apa ini namanya, apakah hanya sebatas kagum, suka atau cinta? Sungguh pergolakan batin yang susah
dibedakan.
Malam-malam Dewi terasa lebih panjang dari biasanya. Sindrom insomnia sempat menerpanya
karena sosok Joo yang selalu hadir lamunannya. Ia sering senyum-senyum sendiri
mengingat banyolan-banyolan yang dibuat oleh Joo. Ia lihat mukanya sendiri di kaca kamarnya. Merah
merekah seperti buah yang ranum yang siap untuk disadap. Disisirnya rambut
dengan perlahan agar tampil manis dengan sedikit manja. Bagaimana dengan Joo?
Ia juga tak sabar menanti hari esok.
Gejolak rasa yang tak mampu dibendung lagi, tanpa
undangan pun Joo sudah berdiri didepan rumah Dewi. Dengan menggegam tangan
sangat erat Dewi, Joo mengajaknya untuk sekedar bersepeda menikmati indahnya
senja disore hari. Mereka duduk
menghadap ke anak sungai ditepian sawah yang hijau bak permadani. Mengobrol
tentang alam yang dilihatnya sore itu. Indah nian awan diatas sana. Begitu biru
dan berjajar membentang harmonis dilangit. Joo mulai memandang Dewi dengan
tangan yang dibiarkan memegang pipi Dewi. Dewi pun menyadarinya. Segumpal
perasaan yang tidak ia mengerti terasa pecah dan mengalir panas ditubuh mereka
berdua. Lalu, kedua bibir mereka saling bertemu.
“Tidak!!” Teriak Dewi secara histeris mengingat
kejadian itu sembari menerkam kepalanya sendiri dan mendapatinya masih
termenung didepan kaca usang yang dibelainya sedari tadi. Teriakan dramatis
yang membangunkan dedaunan kering yang sibuk jatuh diteras rumah dari pohon
beringin yang usianya tidak muda lagi. Lagi-lagi ia merintih, tertawa, kemudian
mengeram. Dengan suara yang semakin lirih.
Sebenarnya, ia tidak pernah menyesalinya. Sepenggal
kisah bersama lelaki itu cukup memberikan makna baginya. Walaupun sementara. Hanya
saja ia tak rela kenapa ini terjadi. Ia merasa seharusnya ia tidak perlu
mengenalnya. Tidak perlu ada pertemuan-pertemuan itu. Buat apa ada janji yang
menguap. Semuanya terasa singkat dan fana. Lantas, berpisah begitu saja. Hanya punggung Joo yang akan ia ingat
ketika lari meninggalkannya tanpa kabar berita.
Mulai dikerahkan seluruh energi dalam kepalan
tangannya yang sudah mulai dingin. Diraihnya sisir untuk menata rambutnya
dengan pelan. Dihembuskannya nafas panjang bernada tegar. Kini ia berjanji hatinya
dianggapnya tidak bertuan. Karena tuannya tidak akan pernah paham.
By : Gadis pemburu Pelangi
pic : mankovic16.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar