Rabu, 18 Maret 2015

Pahitnya Pantai Garam



            Siang ini begitu terik. Pasir-pasir mulai terasa panas ditelapak kaki. Kulit terbakar sinar matahari. Kemilau putih tumpukan garam yang sudah siap jual mulai menyilaukan mata. Desir ombak pun menggulung  dengan beratnya seolah menolak menguap dilangit. Terlihat beberapa anak kecil bermain air ditepian pantai, mencari kerang-kerang atau bahkan bermain istana pasir yang selalu dihantam ombak dengan meriahnya. Tidak tampak satupun nelayan yang sibuk merajut jala-jala siang ini. Semua tatapan mereka tertuju pada rumahku.
            Bendera-bendera kuning mulai menghiasi halaman rumah dan sepanjang jalan menuju rumahku.  Tampak ibu-ibu mulai berbondong-bondong membawa beras dan segala bentuk sumbangan yang ditempatkan suatu wadah semacam baskom. Tenda-tenda mulai didirikan secara gotong royong. Keluarga jauhku pun mulai sibuk berdatangan sekadar ikut berbela sungkawa. Suasana haru mulai pecah semenjak ayahku benar-benar dinyatakan meninggal oleh petugas puskesmas terdekat jam 10 pagi tadi.
            Lihatlah ibuku meronta-ronta dan menangis tiada henti. Digoyang-goyangkan tubuh ayahku, seolah meminta nyawanya kembali dan berharap matanya kembali terbuka dan tersenyum bahagia. Takada satupun yang bisa menenangkan teriakan ibukku yang memekakkan telinga. Guratan mata penuh pilu tampak begitu jelas di muka ibuku yang menangis tiada henti sejak malam lalu. Bak film india yang biasa kami tonton bersama, ibukku memandangi muka ayahku  yang pucat pasi  dengan penuh seksama dan membelai lembut dengan mesranya. Mulai saat itu, aku baru sadar ternyata sedemikian besar cinta ibukku terhadap ayahku.
            Sedangkan aku, hanya mampu berdiri didaun pintu tanpa tahu ekpresi apa yang harus kumunculkan dimukaku. Menyaksikan tubuh ayahku yang sudah terbujur kaku dan bisu. Ditambah adegan dramatis ibukku yang tidak satupun mampu menolong dan beberapa kerabat yang entah benar-benar sedih atau sekadar pura-pura kehilangan. Fenomena mengharukan yang belum pernah aku saksikan sebelumnya.
                        Aku adalah anak perempuan tunggal dari orang tuaku. Sebenarnya dulu aku hampir punya adik. Tapi ternyata ibukku memilih menggugurkan kandungan diusia 2 minggu tanpa ada satupun tetangga yang tahu. Ibuku bilang  akan celaka jika siapapun tahu, katanya. Ibuku juga bilang bahwa bayi dalam kandungannya menderita penyakit yang tidak akan sembuh dan akan membuka aib keluarga. Aku hanya miris pura-pura paham apa yang dijelaskan. Semenjak saat itu, aku sering melihat ibu datang ke dukun untuk dipijat perut nya. Dan akhirnya, kandungan itu benar-benar luruh. Masih tanda tanya besar dalam benakku. Sebenarnya apa yang terjadi? Hingga akhirnya aku benar-benar tahu apa yang terjadi.
            Setiap hari aku dilatih untuk bekerja keras membantu orang tuaku dipasar pelelangan ikan, sebutlah TPI (tempat pelelangan ikan), yaitu pasar ikan terbesar di Kotaku. Tidak ada yang mampu menandingi kualitas ikan dipasar ini. Setiap dini hari para nelayan pulang melaut dengan membawa ikan-ikan segar. Aroma amis dan darah ikan yang segar sangat menarik para pembeli. Tawar menawar harga terdengar disana-sini. Ayah ibuku tentu tidak kalah sibuk. Ayahku yang baru turun dari kapal segera diserbu oleh para pengepul ikan. Ibuku dengan antusias membatu proses transaksi tawar menawar itu dan mengambil beberapa drum ikan untuk dijual harga eceran. Kombinasi kerja yang unik ini dilakoni mulai dari mereka terikat bahtera pernikahan. Namun, kebahagiaan ini mulai terenggut sepuluh tahun terakhir, hingga akhirnya ayahku benar-benar terbujur kaku didepanku.
            Issue tentang ayahku yang sakit keras dan meninggal sudah tersebar diseluruh penjuru kampungku. Do'a surah yasiin mulai digemakan oleh para pelayat. Aku hanyut dalam lamunanku sendiri.Terdengar bisik-bisik para pelayat didekatku. Ada beberapa orang yang menanyakan kenapa ayahku meninggal. Sakit apa yang dideritanya bertahun-tahun. Dan kenapa ada beberapa tetangga yang tidak bersedia memandikan jenazah ayahku. Issue berkembang siang ini, yang lebih parahnya lagi, ada yang mengatakan bahwa ayahku sakit karena guna-guna dan akan celaka bagi yang memandikannya. Hal ini sontak membuatku kupingku panas, tak kuasa menahan haru. Jantungku berdetak lebih kencang tak tentu. Pikiranku pecah. Lalu, aku memutuskan menerobos para pelayat. Aku berlari menuju pantai.
            Berkecamuk rasanya. Aku teriak sekuat-kuatnya tanpa memperdulikan orang disampingku. Tubuhku terjerembah jatuh ke pasir. Aku menangis dalam tawaku. Derai air mata tak mampu ku elakkan lagi. Mengucur deras di pipi kanan dan kiriku. Hening, angin semilir, ombak pecah meneriakiku. Ku pandangi pantai garam siang ini. Pantai garam yang selalu diagung-agungkan dengan kekayaan alam yang melimpah. Tapi apa itu benar? Aku berteriak protes dengan gundukan garam-garam  yang kusalahkan. Dari pantai inilah kisah tragis ayahku terukir. Aku terbenam dalam tangisku. Aku tertawa dalam kegilaanku. Aku puas, melihat ayahku tidak akan pernah menderita lagi.
            Ayahku sakit selama 10 tahun terakhir. Berbagai macam penyakit dideritanya. Nenekku bilang, ayahku sakit karena diguna-guna. Mulai saat itu, ibuku selalu mengajakku untuk mengobatkan ayahku ke dukun yang terhebat didesaku. Dengan membawa satu bungkus rokok, 1 kg Gula, kopi dan roti untuk membayar jasa dukun, ibuku mendapatkan obat berupa daun-daunan yang harus direbus untuk diminum ayahku. Tapi sayangnya, ayahku masih belum bisa sembuh. Beralihlah ibuku ke dukun satu sampai ke dukun yang sangat jauh sekalipun, hingga begitu seterusnya. Banyak ritual yang sudah dilakukan ayahku. Mulai dari berendam ke pantai selama dua jam di pantai tiap malam jum'at, mandi bunga tujuh rupa, menusukkan jarum ke tubuhnya, disembur air dari mulut dukun, menaruh sesajen di perempatan jalan, makan nasi berlauk garam. Dan masih banyak ritual yang mengerikan lainnya. Kegilaan ini, masih belum membuat ayahku sembuh. Semakin hari ayahku tampak pucat menahan sakit, badan semakin kurus dan tatapan mata kosong seolah sudah tidak mampu menjalankan ritual yang menyiksa.
            Tiap hari ayahku berkeringat dingin, menahan sakit kepala, diare, sulit bernafas dan kulit kering. Ayahku sudah tidak mampu melakukan aktivitas apapun Kurawat ayahku tanpa ku mengerti jenis penyakitnya. Ku basuh tubuhnya dengan air hangat sebelum dan sesudah berangkat sekolah. Ritual demi ritual dilakukan oleh ayahku setiap hari. Didesaku memang belum percaya dengan dokter. Karena pernah suatu ketika ada seorang anak yang sedang demam diperiksakan ke dokter, tapi meninggal dunia setelah sampai rumah. Banyak yang mengatakan bahwa dokter adalah pembohong, demikian ibukku bercerita. Meskipun saya belum paham, tapi ada yang ganjil dibenakku.
            Berita tentang ayahku yang sakit keras terdengar sampai ke telinga pamanku. Pagi-pagi buta, tiba-tiba pamanku yang kerja di salah satu perusahaan di Jakarta itu sudah ada didepan pintu rumahku. Pamanku tampak lebih tampan dari sebelumnya sekitar 5 tahun yang lalu. Ibu dan pamanku saling berpelukan. Pamanku juga mendatangiku dan mengacak-acak rambutku dengan penuh senyuman hangat. Setelah itu, pamanku mendatangi ayahku dan menatapnya dengan miris. Dielusnya kening ayahku dengan lembut, disentuh kedua tangan ayahku serasa menguatkan untuk hidup lebih lama.
Dan ibuku hanya berdiri didekat pamanku dengan berderai air mata.
            Kedatangan pamanku ternyata memberikan energy baru untuk keluargaku. Dengan penuh hati-hati pamanku menyarankan untuk merawat ayahku dirumah sakit. Setelah perdebatan yang panjang, akhirnya ibuku pun menyetujuinya. Sore itu, ayahku langsung dibawa kerumah sakit dikota. Setelah menyelesaikan urusan administrasi, ayahku dibaringkan dikamar rumah sakit. Kata pamanku, kita harus menunggu hasil laboratorium.
            Keesokan harinya, hasil laboratorium pun keluar. Pamanku terlihat sangat kaget melihat hasilnya. Tertulis kata “AIDS” dilembaran kertas itu. Setelah berdikusi dengan dokter, pamanku mencoba menjelaskan jenis penyakit ayahku ke aku dan ibuku. Dan ayahku dirujuk oleh dokter untuk dirawat di rumah sakit di provinsi dengan fasilitas yang lebih lengkap. Tanpa panjang lebar, pamanku langsung mengiyakan rujukan itu.
            Suatu malam, kudengar bisik-bisik percakapan antara ibu dan pamanku. Ibuku dengan tangis yang tidak tertolong belum bisa menerima fakta bahwa ayahku menderita AIDS karena selingkuh dengan beberapa wanita. Pamanku pun menyarankan ibuku untuk memeriksakan diri, karena khawatir ikut tertular virus yang mengerikan itu. Kucoba pahami kata demi kata yang dikeluarkan dari mulut pamanku. Aku terbenam dalam kesedihan yang sangat dalam. Memoriku tentang malam-malam sebelumnya seolah-olah kuputar ulang dalam otakku.     
Masih ku ingat, malam itu. Ketika aku masih berusia 10 tahun. Ku lihat ayahku keluar rumah ketika ibu sedang merawat nenek yang sedang sakit di desa seberang. Karena aku penasaran, ku buntuti ayahku sampai ujung gang. Yang kulihat adalah ayahku sedang menggoda seorang wanita yang tidak kukenal. Kejadian serupa ternyata terjadi setiap malam. Gemetar seluruh tubuhku dan berusaha menyimpan rahasia besar ini dari ibuku.
Begitulah kebiasaan kumpulan para nelayan dikampung kami. Setelah pulang melaut, mereka berkumpul bersama untuk bermain judi, minum minuman keras bahkan sampai menghabiskan malam mereka dengan  bermain cinta dengan perempuan lain. Dan sekarang aku baru tahu, itulah yang membuat ayahku menderita seperti ini. Dan penyakit ayahku, bukanlah penyakit kutukan.
Setelah lebih dari dua bulan ayahku dirawat dirumah sakit, pamanku memutuskan untuk membawa ayahku dirawat dirumah, karena biaya rumah sakit yang sudah tidak mampu ditanggung lagi. Ayahku sekarat dimasa tuanya. Dan ibuku, positif terinfeksi virus HIV, karena ayahku.
                                                ---“---
Deru ombak menggeliat dengan kerasnya, menghatam bebatuan dipinggir pantai. Ku buka mataku. Kulihat terik matahari siang ini. Kulangkahkan kakiku dengan gontai. Ku remas pasir panas dengan jari-jari kakiku. Tawaku semakin tidak tertahan. Aku gila di pahitnya pantai Garam.






           


           

           


0 komentar:

Posting Komentar